Saturday, 16 July 2016

ohadist dhaif dilihat dari segi terputusnya sanad

HADITS DHAIF
 DILIHAT DARI SEGI TERPUTUSNYA SANAD
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulum al-Hadits
Dosen Pengampu: Dr. Ikhrom, M.Ag.


Logo UIN.jpg


Disusun:
1.      Yusi Amirul Fatah      (1503036020)  (MPI 2A)
2.      Danang Adhi H.         (1503036090)  (MPI 2C)
3.      Yuni Astuti                 (1503036104)  (MPI 2C)
4.      Sukma Nurul J.           (1503036118)  (MPI 2C)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016


I.              PENDAHULUAN
Dalam Islam mempunyai beberapa sumber yaitu, Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Dari beberapa sumber tersebut, hadits merupakan sumber hukum yang kedua. Dalam kriterianya hadits ada yang bisa dijadikan rujukan yaitu, Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Sedangkan yang tidak bisa dijadikan rujukan itu dinamakan Hadits Dhaif.
Hadits Dhaif adalah hadits yang tidak terdapat padanya sifat-sifat Shahih dan sifat-sifat Hasan, atau bisa dikatakan terdapat kecacatan pada sanad maupun matan. Cacat dari segi sanad antara lain cacat rowinya dan tidak bersambung sanadnya. Sedangkan dari segi matan antara lain adalah matannya tidak di nisbatkan kepada Rasulullah SAW atau Sahabat r.a.


II.           PERMASALAHAN
1.      Apa pengertian hadits dhaif?
2.      Apa saja macam-macam hadits dhaif dilihat dari segi terputusnya sanad?
3.      Bagaimana cara meriwayatkan hadits dhaif?
4.      Bagaimana kehujjahan hadits mursal, munqathi’, mu’dhal, mu’allal dan mudallas?













III.        PEMBAHASAN
1.      Pengertian Hadits Dhaif
Secara bahasa, kata dhaif adalah lawan dari al-qowiy yang berarti “lemah”, maka sebutan hadits dhaif dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.[1]
Hadits dha’if sebagai hadits terendah dan terlemah kedudukannya adalah lantaran tidak memenuhi kriteria hadits yang berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Karena itulah hadits dha’if didefinisikan sebagai hadits tidak meliputi kriteria hasan dan shahih, baik dilihat dari segi matan atau sanad. Al-Qasimi, mengutip pendapat al-Nawawi, menulis bahwa hadits dha’if adalah hadits yang tidak tercakup pada kategori shahih atau hasan’.
ما لم یوجد فیھ شروط الصحة ولا شروط الحسن
Rumusan ini agaknya disetujui mayoritas ahli hadits. Hal senada secara emplisit terungkap dalam uraian ‘Ajjaj al-Khatib bahwa haditsdha’if ialah setiap hadits yang tidak memenuhi kriteria penerimaan (al-Qabul).[2]
Menurut Nur Ad-Din’ Atr, definisi hadits dhaif yang paling baik ialah sebagai berikut:
المقبو ل يث ما فقد شر طا من شر وط ا لحد
Hadits yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima).
          Syarat-syarat hadits makbul ada enam, yaitu:
1.        Rawinya adil;
2.        Rawinya dhabith, meskipun tidak sempurna;
3.        Sanadnya bersambung;
4.        Padanya tidak terdapat suatu kerancuan;
5.        Padanya tidak terdapat ‘illat yang merusak;
6.        Pada saat dibutuhkan, hadits yang bersangkutan menguntungkan (tidak mencelakakan).[3]
2.      Macam-macam Hadits Dhoif Dilihat dari Segi Terputusnya Sanad
a.      Mursal
Istilah mursal oleh ahli hadits dipahami sebagai nama atau istilah yang menunjukkan hadits yang digugurkan (tidak disebutkan) sahabat pada mata rantai sanad-nya. Inilah pengertian yang populer tulis al-Qasimi. Pendapat ini juga dikutip Subhi al-Shahih dalam bukunya yang bertajuk ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh. Versi lain definisi mursal ialah hadits yang disinyalir tabi’in– baik tabi’in kecil atau tabi’in besar – berasal dari sabda, perbuatan, atau taqrir Rasulullah. Ajjaj al-Khatib mengklaim ini sebagai jumhur ahli hadits, kecuali mereka yang memisahkan antara tabi’in kecil dan tabi’in besar. Sejauh ini dapat dikatakan bahwa mursal ialah haditshadits yang diriwayatkan tabi’in, terutama tabi’in besar, tentang sabda, perbuatan atau taqrir Rasulullah SAW., secara langsung tanpa menyebutkan sahabat yang meneria hadits tersebut dari Nabi.
              Umpamanya sebuah hadits dari Malik, dari Abdillah ibn Abi Bakr ibn Hazm bahwa dalam surat yang ditulis Rasulullah kepada ‘Amr ibn Hamz; “Bahwa tidak menyentuh Qur’an melainkan orang yang bersih”. Dari hadis ini dapat dilihat susunan sanad hadits, yaitu: Malik, ‘Abdullah ibn Abi Bakr dan Rasulullah SAW. Abdullah ibn Abi Bakr adalah seorang tabi’in dan tentu saja tidak semasa dan bertemu dengan Rasulullah. Mestinya, Abdullah menerima riwayat ini dari seorang sahabat, namun ia tidak menyebutkan nama sahabat atau tabi’in lain yang mengabarkan hadits kepadanya, bahkan ia langsung menyandarkan kepada Nabi. Contoh hadits tersebut sebagai berikut.
عن مالك عن عبد لله ابن أبى بكر بن حزم أن فى الكتاب الذى كتب رسول
أن إلا طاھر لقر لله صلعم لعمرو بن حزم: أن لا یمس ا
Bentuk riwayat seperti ini dikategorikan sebagai hadits mursal atau sebagian ahli hadits menyebutnya sebagai mursal tabi’in.[4]


b.      Munqathi’
Ketika membicarakan tentang munqathi’, al-Qasimi memakai istilah ini untuk hadits-hadits yang tidak bersambung sanad-nya, baik pada level sahabat atau selainnya. Ajjaj al- Khatib menggunakan istilah munqathi’ untuk hadits yang gugur seorang rawi sanad-nya pada satu tempat atau lebih; atau hadits-hadits yang memuat rawi mubham pada sanad-nya.
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa munqathi’ lebih luas cakupannya ketimbang mursal. Di sini mursal juga termasuk munqathi’ dari segi gugurnya atau tidak disebutkan seorang rawi pada level sahabat. Letak perbedaannya adalah bahwa istilah munqathi’ mencakung terputusnya sanad pada masa tabi’in dan seterusnya. Secara analitis dapat dikatakan bahwa baik al-Qasimi maupun Ajjaj al-Khatib tidak berupaya menarik garis tegas cakupan istilah yang ditawarkan. Di sini terlihat bahwa istilah yang digunakan tumpang tindih dengan istilah lain yang memuat hal yang sama, Cuma saja mereka memperluas makna yang dilingkupi istilah tersebut. Idealnya, istilah munqathi’ cukup digunakan untuk hadits-hadits yang gugur seorang rawi atau terputus sanad-nya pada level tabi’in, tabi’ tabi’in dan seterusnya. Dengan demikian terdapat kejelasan titik tekan kedua istilah tersebut. Sedangkan uraian ‘Ajjaj al-Khatib yang memasukkan hadits-hadits yang memuat perawi mubham lebih efektif dikategorikan sebagai hadits mubham saja tidak malah mengelompokkan ke dalam kategori hadits munqathi’. [5]
Gambaran yang lebih utuh tentang gambaran hadits ini, baiknya diperhatikan, misalnya, sebuah hadits yang diriwayatkan ‘Abd al-Razzaq dari al-Tsauri, dari al-Tsauri, dari Ishaq, dari Zaid ibn Yutsayi’, dari Huzaifah yang meriwayatkan secara marfu’; “Jika kalian serahkan semua urusan kepada Khalifah Abu Bakar, niscaya kalian akan mendapatkan seorang yang kuat lagi terpercaya...”. dari hadits ini antara al-Tsauri dan Abu Ishaq ada perawi yang digugurkan, yaitu Sarik, sebab al Tsauri tidak mendengar langsung hadits ini dari Abu Ishaq melainkan lewat Sarik, dan Sarik-lah yang mendengar hadits dari Abu Ishaq.
c.       Mu’dhal
Kategori mu’dhal adalah untuk hadits-hadits yang gugur dua orang rawi atau lebih pada sanad-nya secara berturut-turut. Ajjaj al-Khatib mengatakan bahwa riwayat-riwayat yang berasal dari tabi’tabi’in juga termasuk kategori hadits mu’dhal. Jadi penekanan istilah ini adalah pada aspek gugurnya rawi secara berturut-turut sebanyak dua orang atau lebih. Boleh jadi yang gugur itu adalah pada level sahabat dan Nabi, atau pada level sahabat, tabi’in,tabi’ tabi’in dan seterusnya.
Subhi al-Shalih mencontohkan kategori hadits mu’dhal, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh al-A’masi dan al-Sya’bi yang berkata: “Ditanyakan kepada seseorang pada hari kiamat, apakah engkau berbuat demikian?” Orang itu menjawab; ‘Tidak!’, Maka diberanguslah mulutnya”. Al-Sya’bi dalam hal ini sebenarnya meriwayatkan dari Anas, sedangkan Anas meriwayatkan dari Rasulullah SAW., lalu A’masi membuat hadits ini menjadi mu’dhal dengan menggugurkan Anas dan Rasulullah dari sanad-nya. dalam musnad Syafi’i juga ditemukan Syafi’i berkata: “Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’id bin Salim, dari ibn Juraij, bahwa Nabi SAW. Apabila melihat Baitullah beliau mengangkat kedua tangannya”. Dalam kasus ini ibn Juraij termasuk tabi’ tabi’in. Jadi antara dia dengan Rasulullah ada dua perantara yaitu tabi’in dan sahabat yang tidak disebut.[6]
d.      Mudallas
Hadits mudallas ialah hadits yang mengandung unsur tadlis, yaitu sebuah perawi hadits menceritakan sebuah hadits dari suatu sumber yang hidup semasa dengannya, atau ia pernah bertemu dengan orang itu, tetapi ia tidak pernah belajar          hadits darinya. Perawi ini mendapatkan hadits dari orang lain yang pernah berguru dengan nara sumber tersebut. Lantas si perawi meriwayatkan hadits itu seolah-olah ia langsung menerima hadits dari nara sumbernya – tanpa menyebutkan lebih dahulu dari mana ia mendapatkan hadits itu sebelumnya dengan menggunakan istilah yang biasa digunakan untuk kategori penerimaan langsung atau tidak langsung. Atau bisa juga dengan menggunakan nama orang lain yang tidak begitu dikenal umumnya dengan nama seseorang yang populer, atau dengan memberikan gelar ketamaan kepada seorang rawi tertentu. Karena itu dalam kajian ilmu hadits ada istilah tadlis isnad dan tadlis syuyukh.
1.   Tadlis Isnad
Term Tadlis isnad digunakan terhadap hadits yang disampaikan seorang perawi dari orang yang semasa dengannya dan ia memang bertemu sendiri dengan orang tersebut, meskipun secara langsung ia tidak mendengar suatu hadits darinya. Lalu ia meriwayatkan seacra langsung dari orang yang pernah ditemuinya itu. Sebenarnya ia menerima hadits dari orang yang pernah belajar atau menerima hadits dari orang tersebut. Namun dalam kasus ini si perawi tidak menyebutkan nama orang yang pernah belajar hadits itu.
2.   Tadlis Syuyukh
Tadlis jenis ini adalah apabila seorang perawi memberikan label keutamaan berupa sifat-sifat atau nama tertentu – yang melebihi fakta yang sebenarnya kepada seorang rawi. Umpamanya, apa yang diriwayatkan Abu Bakar ibn Mujahid al-Muqri dari Abu Bakar ibn Abi Dawud yang berkata: “Abdullah ibn Sawad menceritakan kepadaku...”. di sini Muhammad dinisbahkan kepada kakeknya, bukan kepada ayahnya.[7]
e.       Mu’allal
Dikatakan sebagai hadits mu’allal apabila sebuah hadits mempunyai cacat atau cela yang menjelekkan kredibilitas hadits, meskipun secara lahiriah kelihatan tidak kelihatan. Faktor tercela atau cacatnya hadits ini kebanyakan ditemukan pada sanad. Tetapi terkadang ditemukan juga pada matan. Atau bahkan ditemukan sekaligus pada sanad dan matan.
Mu’allal dikelompokkan sebagai hadits yang terputus sanad-nya karena kebanyakan cacat hadits terdapat pada sanad. Umpamanya, sebuah hadits mursal yang dinyatakan seseorang sebagai hadits muttashil. Atau riwayat yang merupakan perkataan sahabat tetapi dalam beberapa hadits disandarkan kepada Nabi.
Sebuah hadits yang diriwayatkan al-Turmudzi ditemukan cacat, diantaranya berbunyi: “Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Mansur, telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah ibn Numair, telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah ibn ‘Umar, dari Nafi’, dari Sa’id ibn Abi Hindin
dari Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW. Telah bersabda: ‘Telah diharamkan memakai sutera dan emas atas seorang laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi perempuanperempuan mereka”
Secara lahir sanad hadits ini kelihatan bersambung, namun sesudah diteliti ternyata sa’id ibn Abi Hindin tidak pernah mendengar hadits dari Abi Musa. Jadi antara Sa’id dan Abi Musa terdapat perawi yang tidak disebut.[8]


3.      Cara Meriwayatkan Hadits Dhoif
       Para ulama hadits menyarankan para penyampai hadits dhoif agar tidak menggunakan kalimat definitive seperti Rasulullah SAW telah bersabda (qala rasulullah) atau yang sejenis itu. Hendaknya mereka menggunakan redaksi yang memang berisi keragu-raguan seprti ada berita atau riwayat yang datang (ruwiya atau ja-a) dan yang sejenisnya. Hal ini dilakukan dengan maksud agar orang tidak beranggapan bahwa yang disampaikan itu benar- benar Nabi. Akan tetapi, redaksi-redaksi seperti ini tidak boleh dipakai untuk hadits- hadits dengan kualitas shahih, karena untuk hadits-hadits shahih wajib menggunakan redaksi definitive.
            Lebih jauh Imam Nawawi menegaskan bahwa:  “Apabila kita hendak menukilkan hadits dhoif tanpa menyebutkan sanadnya, hendaknya jangan memakai sigat jazm (redaksi yang definitive), seperti: qala (berkata), fa’ala (melakukan) dan amara rasulullah SAW kaza wa kaza (Rasulullah telah memerintahkan ini dan itu). Sebab sigat jazm ini memberi pengertian bahwa Rasulullah SAW benar-benar bersabda, berbuat atau memerintahkan seperti apa yang diriwayatkan itu. Padahal kita tidak menetapkan yang sedemikian melalui riwayat hadits dhoif. Untuk meriwayatkan hadits dhoif tanpa menyebutkan sanadnya, hendaknya digunakan sigat tamrid (yang mengandung keragu-raguan) semisal: ruwiya’an, hukiya ‘an rasulillah annahu qala atau annahu zakara dan sejenisnya. Sebaliknya bila hendak meriwayatkan hadits shahih dan hasan hendaklah menggunakan sigat jazm. Sangat tercela bila menggunakan sigat tamrid.[9]

4.   Perihal Kehujjahan Hadits Mursal, Munqathi’, Mu’adhal, Mu’allal dan Mudallas
Konsekwensi adanya tingkatan-tingkatan yang diberikan kepada suatu hadits erat berujung kepada persoalan apakah hadits itu dapat dipegangi atau diamalkan atau tidak. Perihal hadits dha’if yang dianggap sebagai hadits yang terendah posisinya, setelah dirinci aspek-aspek kelemahannya, ternyata tidak semua ulama sepakat meninggalkan hadits ini. Hal ini dapat dipahami karena hadits-hadits yang dikategorikan sebagai dha’if adakalanya masih membuka kemungkinan untuk diterima karena ada segi-segi tertentu yang mendukung hal itu. Mengomentari kedudukan hadits-hadits dha’if yang telah diuraikan di atas, bagian ini memuat sekitar pandangan ulama yang berhubungan dengan problem ke-hujjah-an. Masalah kedudukan hadits mursal, paling tidak ada tiga pendapat yang muncul dikalangan ulama. Pertama, Al-Nawawi dalam al-Taqrib mengemukakan: “Hadits mursal adalah dha’if menurut mayoritas ahli hadits, kebanyakan fuqaha dan ahli ushul”. Dalam Syarh al-Mihzab, al-Nawawi melanjutkan: “ Ini diceritakan al-Hakim Abu ‘Abdillah, dari Sa’id ibn Musayyab dari sekelompok ahli hadits.”  Muslim dalam pendahulu Shahih-nya juga mengutarakan bahwa mursal yang berasal dari mereka atau berasal dari ahli ilmu tidak dapat dijadikan hujjah.
Imam Syafi’i termasuk fuqaha yang menolak hadits ini. Al-Hafizh dalam Syarh al-Nakhbah mengemukakan alasan penolakan hadits ini adalah karena nya hal yang dihilangkan dalam hadits ini. Maksudnya adalah dalam hadits ini mursal terdapat kelemahan dari sisi adanya perawi yang dihilangkan. Secara umum golongan yang menolak hadits mursal adalah pendapat yang populer dikalangan ulama. Kedua, mereka yang berpendapat bahwa hadits mursal dapat dipegangi (dijadikan) hujjah secara mutlak. Pendapat ini dinukilkan dari Malik, Abu Hanifah, Ahmad, Ibn Qayyim, Ibn Katsir dan lain-lain.
Ibn Jarir dalam al-Thadrib mengungkapkan bahwa tabi’in sepakat menerima hadits mursal. Ibn ‘Abd al-Bar mengatakan bahwa orang yang mulamula menolak pemakaian hadits mursal adalah al-Syafi’i dan Abu Dawud. Dahulu kebanyakan ulama memegangi hadits mursal, umpamanya Sufyan al-Tsauri, Malik, al-Auza’i, sampai akhirnya datang Syafi’i yang menolak memegangi hadits mursal. Ketiga, ulama yang berpendapat bahwa mursal bisa dijadikan hujjah apabila ada riwayat lain yang diriwayatkan secara mursal dari segi lain, atau diamalkan sebagian sahabat, atau diamalkan mayoritas ahli ilmu. Jika disimak pendapat-pendapat di atas, pendapat terakhir agaknya lebih akomodatif dan lebih terbuka menerima adanya kemungkinan diterimanya hadits mursal sebagai hadits yang dapat dipegangi. Namun tentu saja diperlukan kejelian dan keahlian khusus untuk meneliti hadits-hadits seperti ini. Adapun hadits munqathi’npara ulama cenderung memasukkan kepada hadits yang ditolak (mardud) karena kemungkinan gugurnya perawi lebih besar sehingga lebih meragukan apakah hadits itu berasal dari  Nabi atau tidak.
Kemungkinan diterima hadits ini menjadi hujjah sebenarnya tetap ada yaitu ketika ditemukan ada munqathi’ lain yang setelah diteliti lebih cermat ternyata adalah hadits yang muttashil. Kedudukan hadits mu’dhal lebih rendah lagi dari munqathi’ karena jenis ini membuka peluang besar adanya manipulasi hadits Nabi. Dalam hadits ini mata rantai sanad terputus lebih dari dua perawi. Kiranya hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah. Tentang hadits mudallas, menurut Ajjaj al-Khatib ada tiga pendapat ulama apakah hadits ini dapat diterima atau ditolak. Pertama, orang yang melakukan tadlis riwayatnya ditolak secara mutlak, tidak persoalan apakah orang itu melakukannya sekali atau lebih. Kedua, menerima hadits mudallas karena menyamakan tadlis dengan irsal (hadits
mursal).
Ini pendapat Zaidiyah. Ketiga, orang yang melakukan tadlis meskipun sekali dan tidak menjelaskan dari siapa ia mendengar hadits itu, maka khabar-nya ditolak. Sedangkan yang menjelaskan dari siapa ia mendengar hadits dapat diterima apabila memenuhi syarat-syarat penerimaan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dan al-Syafi’i. Melihat adanya manipulasi status perawi pada sanad dalam hadits mudallas – dengan berbagai motifnya – pendapat yang lebih cocok dengan prinsip kehati-hatian dan sikap kritis dalam menerima hadits Nabi adalah dengan menolak hadits mudallas kecuali terdapat data yang memadai untuk dipertimbangkan sebagai hadits yang dapat diterima. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya hadits dha’if tidak dapat diterima begitu saja menjadi pegangan umat Islam.
Kemungkinan itu baru ada apabila terdapat berbagai bukti atau fakta yang mendukung hadits tersebut sehingga tarafnya meningkat kepada status yang lebih tinggi. Kalaupun ada ulama yang menerima hadits ini, sebenarnya mereka tidak menerima begitu saja, mereka mengajukan berbagai persyaratan yang pada hakikatnya juga menaikkan suatu hadits yang terlanjur dipandang sebagai dha’if.


IV.        KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya hadits dha’if  tidak dapat diterima begitu saja menjadi pegangan umat Islam. Kemungkinan itu baru ada apabila terdapat berbagai bukti atau fakta yang mendukung hadits tersebut sehingga tarafnya meningkat kepada status yang lebih tinggi. Kalaupun ada ulama yang menerima hadits ini, sebenarnya mereka tidak menerima begitu saja, mereka mengajukan berbagai persyaratan yang pada hakikatnya juga menaikkan suatu hadits yang terlanjur dipandang sebagai dha’if.[10]
V.           DAFTAR PUSTAKA

Tihami, M. A. Ulumul Hadits. 2010. Bogor: PT Ghalia Indonesia.
Ikhrom. Pengantar Ulumul Hadits. 2015. Semarang: UIN Walisongo.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadits. 2012. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sattar, Abdul. Ilmu Hadis. 2015. Semarang: Rasail Media Group.



[1] M. A. Tihami, Ulumul Hadits, Bogor: PT Ghalia Indonesia,  2010,  hlm. 118.
[2] Ikhrom, Pengantar Ulumul Hadits, Semarang: UIN Walisongo, 2015, hlm. 211.
[3] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadits, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,  2012, hlm. 291.

[4] Ikhrom, Pengantar Ulumul Hadits, Semarang: UIN Walisongo, 2015, hlm. 212-214.
[5] Ikhrom, Pengantar Ulumul Hadits, Semarang: UIN Walisongo, 2015, hlm. 216-217.
[6] Ikhrom, Pengantar Ulumul Hadits, Semarang: UIN Walisongo, 2015, hlm. 217-218.
[7] Ikhrom, Pengantar Ulumul Hadits, Semarang: UIN Walisongo, 2015, hlm. 218-221.
[8] Ikhrom, Pengantar Ulumul Hadits, Semarang: UIN Walisongo, 2015, hlm. 221-222.
[9] Abdul Sattar, Ilmu Hadis, Semarang: Rasail Media Group, 2015, hlm. 133-134.
[10] Ikhrom, Pengantar Ulumul Hadits, Semarang: UIN Walisongo, 2015, hlm. 224-225.

No comments:

Post a Comment