HADITS DHAIF
DILIHAT DARI SEGI TERPUTUSNYA SANAD
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulum al-Hadits
Dosen Pengampu: Dr. Ikhrom, M.Ag.

Disusun:
1. Yusi
Amirul Fatah (1503036020) (MPI 2A)
2. Danang
Adhi H. (1503036090) (MPI 2C)
3. Yuni
Astuti (1503036104) (MPI 2C)
4. Sukma
Nurul J. (1503036118) (MPI 2C)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2016
I.
PENDAHULUAN
Dalam Islam mempunyai beberapa sumber yaitu, Al-Qur’an,
Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Dari beberapa sumber tersebut, hadits merupakan
sumber hukum yang kedua. Dalam kriterianya hadits ada yang bisa dijadikan
rujukan yaitu, Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Sedangkan yang
tidak bisa dijadikan rujukan itu dinamakan Hadits Dhaif.
Hadits Dhaif adalah hadits yang tidak terdapat padanya sifat-sifat Shahih
dan sifat-sifat Hasan, atau bisa dikatakan terdapat kecacatan pada sanad
maupun matan. Cacat dari segi sanad antara lain cacat rowinya dan tidak
bersambung sanadnya. Sedangkan dari segi matan antara lain adalah matannya
tidak di nisbatkan kepada Rasulullah SAW atau Sahabat r.a.
II.
PERMASALAHAN
1. Apa
pengertian hadits dhaif?
2. Apa
saja macam-macam hadits dhaif dilihat dari segi terputusnya sanad?
3. Bagaimana
cara meriwayatkan hadits dhaif?
4. Bagaimana
kehujjahan hadits mursal, munqathi’, mu’dhal, mu’allal dan mudallas?
III.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadits Dhaif
Secara
bahasa, kata dhaif adalah lawan dari al-qowiy yang berarti “lemah”, maka
sebutan hadits dhaif dari segi bahasa berarti hadits yang lemah atau
hadits yang tidak kuat.[1]
Hadits
dha’if sebagai hadits terendah dan terlemah kedudukannya adalah lantaran
tidak memenuhi kriteria hadits yang berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Karena
itulah hadits dha’if didefinisikan sebagai hadits tidak meliputi
kriteria hasan dan shahih, baik dilihat dari segi matan atau
sanad. Al-Qasimi, mengutip pendapat al-Nawawi, menulis bahwa hadits dha’if
adalah hadits yang tidak tercakup pada kategori shahih atau hasan’.
ما لم یوجد فیھ شروط الصحة
ولا شروط الحسن
Rumusan
ini agaknya disetujui mayoritas ahli hadits. Hal senada secara emplisit
terungkap dalam uraian ‘Ajjaj al-Khatib bahwa haditsdha’if ialah setiap hadits
yang tidak memenuhi kriteria penerimaan (al-Qabul).[2]
Menurut
Nur Ad-Din’ Atr, definisi hadits dhaif yang paling baik ialah sebagai berikut:
المقبو
ل يث ما فقد شر طا من شر وط ا لحد
Hadits yang kehilangan salah satu
syaratnya sebagai hadits maqbul (yang dapat diterima).
Syarat-syarat
hadits makbul ada enam, yaitu:
1.
Rawinya adil;
2.
Rawinya dhabith, meskipun tidak sempurna;
3.
Sanadnya
bersambung;
4.
Padanya tidak
terdapat suatu kerancuan;
5.
Padanya tidak
terdapat ‘illat yang merusak;
6.
Pada saat
dibutuhkan, hadits yang bersangkutan menguntungkan (tidak mencelakakan).[3]
2. Macam-macam Hadits Dhoif Dilihat dari Segi Terputusnya
Sanad
a.
Mursal
Istilah
mursal oleh ahli hadits dipahami sebagai nama atau istilah yang
menunjukkan hadits yang digugurkan (tidak disebutkan) sahabat pada mata rantai sanad-nya.
Inilah pengertian yang populer tulis al-Qasimi. Pendapat ini juga dikutip Subhi
al-Shahih dalam bukunya yang bertajuk ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh. Versi
lain definisi mursal ialah hadits yang disinyalir tabi’in– baik
tabi’in kecil atau tabi’in besar – berasal dari sabda, perbuatan,
atau taqrir Rasulullah. Ajjaj al-Khatib mengklaim ini sebagai
jumhur ahli hadits, kecuali mereka yang memisahkan antara tabi’in kecil
dan tabi’in besar. Sejauh ini dapat dikatakan bahwa mursal ialah
haditshadits yang diriwayatkan tabi’in, terutama tabi’in besar,
tentang sabda, perbuatan atau taqrir Rasulullah SAW., secara langsung
tanpa menyebutkan sahabat yang meneria hadits tersebut dari Nabi.
Umpamanya
sebuah hadits dari Malik, dari Abdillah ibn Abi Bakr ibn Hazm bahwa dalam surat
yang ditulis Rasulullah kepada ‘Amr ibn Hamz; “Bahwa tidak menyentuh Qur’an melainkan
orang yang bersih”. Dari hadis ini dapat dilihat susunan sanad hadits,
yaitu: Malik, ‘Abdullah ibn Abi Bakr dan Rasulullah SAW. Abdullah ibn Abi Bakr
adalah seorang tabi’in dan tentu saja tidak semasa dan bertemu dengan Rasulullah.
Mestinya, Abdullah menerima riwayat ini dari seorang sahabat, namun ia tidak
menyebutkan nama sahabat atau tabi’in lain yang mengabarkan hadits
kepadanya, bahkan ia langsung menyandarkan kepada Nabi. Contoh hadits tersebut
sebagai berikut.
عن مالك عن عبد لله ابن أبى
بكر بن حزم أن فى الكتاب الذى كتب رسول
أن إلا طاھر
لقر لله صلعم لعمرو بن حزم: أن لا
یمس ا
Bentuk riwayat seperti
ini dikategorikan sebagai hadits mursal atau sebagian ahli hadits
menyebutnya sebagai mursal tabi’in.[4]
b. Munqathi’
Ketika
membicarakan tentang munqathi’, al-Qasimi memakai istilah ini untuk
hadits-hadits yang tidak bersambung sanad-nya, baik pada level sahabat
atau selainnya. Ajjaj al- Khatib menggunakan istilah munqathi’ untuk
hadits yang gugur seorang rawi sanad-nya pada satu tempat atau lebih; atau
hadits-hadits yang memuat rawi mubham pada sanad-nya.
Ungkapan
di atas menunjukkan bahwa munqathi’ lebih luas cakupannya ketimbang mursal.
Di sini mursal juga termasuk munqathi’ dari segi gugurnya atau
tidak disebutkan seorang rawi pada level sahabat. Letak perbedaannya adalah bahwa
istilah munqathi’ mencakung terputusnya sanad pada masa tabi’in
dan seterusnya. Secara analitis dapat dikatakan bahwa baik al-Qasimi maupun
Ajjaj al-Khatib tidak berupaya menarik garis tegas cakupan istilah yang
ditawarkan. Di sini terlihat bahwa istilah yang digunakan tumpang tindih dengan
istilah lain yang memuat hal yang sama, Cuma saja mereka memperluas makna yang
dilingkupi istilah tersebut. Idealnya, istilah munqathi’ cukup digunakan
untuk hadits-hadits yang gugur seorang rawi atau terputus sanad-nya pada
level tabi’in, tabi’ tabi’in dan seterusnya. Dengan demikian terdapat
kejelasan titik tekan kedua istilah tersebut. Sedangkan uraian ‘Ajjaj al-Khatib
yang memasukkan hadits-hadits yang memuat perawi mubham lebih efektif
dikategorikan sebagai hadits mubham saja tidak malah mengelompokkan ke
dalam kategori hadits munqathi’. [5]
Gambaran
yang lebih utuh tentang gambaran hadits ini, baiknya diperhatikan, misalnya,
sebuah hadits yang diriwayatkan ‘Abd al-Razzaq dari al-Tsauri, dari al-Tsauri, dari
Ishaq, dari Zaid ibn Yutsayi’, dari Huzaifah yang meriwayatkan secara marfu’;
“Jika kalian serahkan semua urusan kepada Khalifah Abu Bakar, niscaya kalian
akan mendapatkan seorang yang kuat lagi terpercaya...”. dari hadits ini antara
al-Tsauri dan Abu Ishaq ada perawi yang digugurkan, yaitu Sarik, sebab al Tsauri
tidak mendengar langsung hadits ini dari Abu Ishaq melainkan lewat Sarik, dan Sarik-lah
yang mendengar hadits dari Abu Ishaq.
c.
Mu’dhal
Kategori
mu’dhal adalah untuk hadits-hadits yang gugur dua orang rawi atau lebih
pada sanad-nya secara berturut-turut. Ajjaj al-Khatib mengatakan bahwa
riwayat-riwayat yang berasal dari tabi’tabi’in juga termasuk kategori
hadits mu’dhal. Jadi penekanan istilah ini adalah pada aspek gugurnya
rawi secara berturut-turut sebanyak dua orang atau lebih. Boleh jadi yang gugur
itu adalah pada level sahabat dan Nabi, atau pada level sahabat, tabi’in,tabi’
tabi’in dan seterusnya.
Subhi
al-Shalih mencontohkan kategori hadits mu’dhal, yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh al-A’masi dan al-Sya’bi yang berkata: “Ditanyakan kepada
seseorang pada hari kiamat, apakah engkau berbuat demikian?” Orang itu menjawab;
‘Tidak!’, Maka diberanguslah mulutnya”. Al-Sya’bi dalam hal ini sebenarnya
meriwayatkan dari Anas, sedangkan Anas meriwayatkan dari Rasulullah SAW., lalu
A’masi membuat hadits ini menjadi mu’dhal dengan menggugurkan Anas dan Rasulullah
dari sanad-nya. dalam musnad Syafi’i juga ditemukan Syafi’i berkata:
“Telah mengkhabarkan kepada kami Sa’id bin Salim, dari ibn Juraij, bahwa Nabi
SAW. Apabila melihat Baitullah beliau mengangkat kedua tangannya”. Dalam kasus
ini ibn Juraij termasuk tabi’ tabi’in. Jadi antara dia dengan Rasulullah
ada dua perantara yaitu tabi’in dan sahabat yang tidak disebut.[6]
d.
Mudallas
Hadits
mudallas ialah hadits yang mengandung unsur tadlis, yaitu sebuah
perawi hadits menceritakan sebuah hadits dari suatu sumber yang hidup semasa dengannya,
atau ia pernah bertemu dengan orang itu, tetapi ia tidak pernah belajar hadits darinya. Perawi ini mendapatkan
hadits dari orang lain yang pernah berguru dengan nara sumber tersebut. Lantas si
perawi meriwayatkan hadits itu seolah-olah ia langsung menerima hadits dari
nara sumbernya – tanpa menyebutkan lebih dahulu dari mana ia mendapatkan hadits
itu sebelumnya dengan menggunakan istilah yang biasa digunakan untuk kategori
penerimaan langsung atau tidak langsung. Atau bisa juga dengan menggunakan nama
orang lain yang tidak begitu dikenal umumnya dengan nama seseorang yang
populer, atau dengan memberikan gelar ketamaan kepada seorang rawi tertentu.
Karena itu dalam kajian ilmu hadits ada istilah tadlis isnad dan tadlis
syuyukh.
1.
Tadlis Isnad
Term
Tadlis isnad digunakan terhadap hadits yang disampaikan seorang perawi
dari orang yang semasa dengannya dan ia memang bertemu sendiri dengan orang tersebut,
meskipun secara langsung ia tidak mendengar suatu hadits darinya. Lalu ia
meriwayatkan seacra langsung dari orang yang pernah ditemuinya itu. Sebenarnya
ia menerima hadits dari orang yang pernah belajar atau menerima hadits dari
orang tersebut. Namun dalam kasus ini si perawi tidak menyebutkan nama
orang yang pernah belajar hadits itu.
2.
Tadlis Syuyukh
Tadlis
jenis
ini adalah apabila seorang perawi memberikan label keutamaan berupa sifat-sifat
atau nama tertentu – yang melebihi fakta yang sebenarnya kepada seorang rawi.
Umpamanya, apa yang diriwayatkan Abu Bakar ibn Mujahid al-Muqri dari Abu Bakar
ibn Abi Dawud yang berkata: “Abdullah ibn Sawad menceritakan kepadaku...”. di sini
Muhammad dinisbahkan kepada kakeknya, bukan kepada ayahnya.[7]
e.
Mu’allal
Dikatakan
sebagai hadits mu’allal apabila sebuah hadits mempunyai cacat atau cela
yang menjelekkan kredibilitas hadits, meskipun secara lahiriah kelihatan tidak
kelihatan. Faktor tercela atau cacatnya hadits ini kebanyakan ditemukan pada sanad.
Tetapi terkadang ditemukan juga pada matan. Atau bahkan ditemukan
sekaligus pada sanad dan matan.
Mu’allal dikelompokkan
sebagai hadits yang terputus sanad-nya karena kebanyakan cacat hadits
terdapat pada sanad. Umpamanya, sebuah hadits mursal yang
dinyatakan seseorang sebagai hadits muttashil. Atau riwayat yang merupakan
perkataan sahabat tetapi dalam beberapa hadits disandarkan kepada Nabi.
Sebuah
hadits yang diriwayatkan al-Turmudzi ditemukan cacat, diantaranya berbunyi:
“Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibn Mansur, telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah ibn Numair, telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah ibn ‘Umar,
dari Nafi’, dari Sa’id ibn Abi Hindin
dari
Musa al-Asy’ari, bahwa Rasulullah SAW. Telah bersabda: ‘Telah diharamkan
memakai sutera dan emas atas seorang laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi
perempuanperempuan mereka”
Secara
lahir sanad hadits ini kelihatan bersambung, namun sesudah diteliti
ternyata sa’id ibn Abi Hindin tidak pernah mendengar hadits dari Abi Musa. Jadi
antara Sa’id dan Abi Musa terdapat perawi yang tidak disebut.[8]
3.
Cara
Meriwayatkan Hadits Dhoif
Para
ulama hadits menyarankan para penyampai hadits dhoif agar tidak
menggunakan kalimat definitive seperti Rasulullah SAW telah bersabda (qala
rasulullah) atau yang sejenis itu. Hendaknya mereka menggunakan redaksi
yang memang berisi keragu-raguan seprti ada berita atau riwayat yang datang (ruwiya
atau ja-a) dan yang sejenisnya. Hal ini dilakukan dengan maksud agar orang
tidak beranggapan bahwa yang disampaikan itu benar- benar Nabi. Akan tetapi,
redaksi-redaksi seperti ini tidak boleh dipakai untuk hadits- hadits dengan
kualitas shahih, karena untuk hadits-hadits shahih wajib
menggunakan redaksi definitive.
Lebih jauh Imam Nawawi menegaskan
bahwa: “Apabila kita hendak menukilkan
hadits dhoif tanpa menyebutkan sanadnya, hendaknya jangan memakai sigat
jazm (redaksi yang definitive), seperti: qala (berkata), fa’ala
(melakukan) dan amara rasulullah SAW kaza wa kaza (Rasulullah telah
memerintahkan ini dan itu). Sebab sigat jazm ini memberi pengertian
bahwa Rasulullah SAW benar-benar bersabda, berbuat atau memerintahkan seperti
apa yang diriwayatkan itu. Padahal kita tidak menetapkan yang sedemikian
melalui riwayat hadits dhoif. Untuk meriwayatkan hadits dhoif
tanpa menyebutkan sanadnya, hendaknya digunakan sigat tamrid (yang
mengandung keragu-raguan) semisal: ruwiya’an, hukiya ‘an rasulillah annahu
qala atau annahu zakara dan sejenisnya. Sebaliknya bila hendak
meriwayatkan hadits shahih dan hasan hendaklah menggunakan sigat jazm.
Sangat tercela bila menggunakan sigat tamrid.[9]
4.
Perihal
Kehujjahan Hadits Mursal, Munqathi’, Mu’adhal, Mu’allal dan Mudallas
Konsekwensi
adanya tingkatan-tingkatan yang diberikan kepada suatu hadits erat berujung
kepada persoalan apakah hadits itu dapat dipegangi atau diamalkan atau tidak.
Perihal hadits dha’if yang dianggap sebagai hadits yang terendah
posisinya, setelah dirinci aspek-aspek kelemahannya, ternyata tidak semua ulama
sepakat meninggalkan hadits ini. Hal ini dapat dipahami karena hadits-hadits
yang dikategorikan sebagai dha’if adakalanya masih membuka kemungkinan untuk
diterima karena ada segi-segi tertentu yang mendukung hal itu. Mengomentari
kedudukan hadits-hadits dha’if yang telah diuraikan di atas, bagian ini
memuat sekitar pandangan ulama yang berhubungan dengan problem ke-hujjah-an. Masalah
kedudukan hadits mursal, paling tidak ada tiga pendapat yang muncul
dikalangan ulama. Pertama, Al-Nawawi dalam al-Taqrib mengemukakan: “Hadits mursal
adalah dha’if menurut mayoritas ahli hadits, kebanyakan fuqaha dan
ahli ushul”. Dalam Syarh al-Mihzab, al-Nawawi melanjutkan: “ Ini diceritakan
al-Hakim Abu ‘Abdillah, dari Sa’id ibn Musayyab dari sekelompok ahli hadits.” Muslim dalam pendahulu Shahih-nya juga
mengutarakan bahwa mursal yang berasal dari mereka atau berasal dari
ahli ilmu tidak dapat dijadikan hujjah.
Imam
Syafi’i termasuk fuqaha yang menolak hadits ini. Al-Hafizh dalam Syarh
al-Nakhbah mengemukakan alasan penolakan hadits ini adalah karena
nya hal yang dihilangkan dalam hadits ini. Maksudnya adalah dalam hadits
ini mursal terdapat kelemahan dari sisi adanya perawi yang dihilangkan.
Secara umum golongan yang menolak hadits mursal adalah pendapat
yang populer dikalangan ulama. Kedua, mereka yang berpendapat bahwa
hadits mursal dapat dipegangi (dijadikan) hujjah secara mutlak.
Pendapat ini dinukilkan dari Malik, Abu Hanifah, Ahmad, Ibn Qayyim, Ibn Katsir
dan lain-lain.
Ibn
Jarir dalam al-Thadrib mengungkapkan bahwa tabi’in sepakat
menerima hadits mursal. Ibn ‘Abd al-Bar mengatakan bahwa orang yang
mulamula menolak pemakaian hadits mursal adalah al-Syafi’i dan Abu Dawud.
Dahulu kebanyakan ulama memegangi hadits mursal, umpamanya Sufyan
al-Tsauri, Malik, al-Auza’i, sampai akhirnya datang Syafi’i yang menolak
memegangi hadits mursal. Ketiga, ulama yang berpendapat bahwa mursal
bisa dijadikan hujjah apabila ada riwayat lain yang diriwayatkan secara
mursal dari segi lain, atau diamalkan sebagian sahabat, atau diamalkan
mayoritas ahli ilmu. Jika disimak pendapat-pendapat
di atas, pendapat terakhir agaknya lebih
akomodatif dan lebih terbuka menerima adanya
kemungkinan diterimanya hadits mursal sebagai hadits yang dapat dipegangi. Namun tentu saja diperlukan kejelian
dan keahlian khusus untuk meneliti hadits-hadits
seperti ini. Adapun hadits munqathi’npara
ulama cenderung memasukkan kepada hadits yang ditolak
(mardud) karena kemungkinan gugurnya perawi lebih besar sehingga lebih meragukan
apakah hadits itu berasal dari Nabi atau
tidak.
Kemungkinan diterima hadits ini menjadi hujjah sebenarnya tetap
ada yaitu ketika ditemukan ada munqathi’ lain yang setelah diteliti
lebih cermat ternyata adalah hadits yang muttashil. Kedudukan hadits mu’dhal
lebih rendah lagi dari munqathi’ karena jenis ini membuka peluang
besar adanya manipulasi hadits Nabi. Dalam hadits ini mata rantai sanad terputus
lebih dari dua perawi. Kiranya hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah. Tentang
hadits mudallas, menurut Ajjaj al-Khatib ada tiga pendapat ulama apakah
hadits ini dapat diterima atau ditolak. Pertama, orang yang melakukan tadlis
riwayatnya ditolak secara mutlak, tidak persoalan apakah orang itu melakukannya
sekali atau lebih. Kedua, menerima hadits mudallas karena
menyamakan tadlis dengan irsal (hadits
mursal).
Ini pendapat Zaidiyah. Ketiga, orang yang melakukan tadlis
meskipun sekali dan tidak menjelaskan dari siapa ia mendengar hadits itu,
maka khabar-nya ditolak. Sedangkan yang menjelaskan dari siapa ia mendengar hadits dapat diterima
apabila memenuhi syarat-syarat penerimaan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama
dan al-Syafi’i. Melihat adanya manipulasi status perawi pada sanad dalam
hadits mudallas – dengan berbagai motifnya – pendapat yang lebih cocok
dengan prinsip kehati-hatian dan sikap kritis dalam menerima hadits Nabi adalah
dengan menolak hadits mudallas kecuali terdapat data yang memadai untuk dipertimbangkan
sebagai hadits yang dapat diterima. Dari paparan di atas dapat disimpulkan
bahwa sebenarnya hadits dha’if tidak dapat diterima begitu saja menjadi
pegangan umat Islam.
Kemungkinan itu baru ada apabila terdapat berbagai bukti atau
fakta yang mendukung hadits tersebut sehingga tarafnya meningkat kepada status yang
lebih tinggi. Kalaupun ada ulama yang menerima hadits ini, sebenarnya mereka
tidak menerima begitu saja, mereka mengajukan berbagai persyaratan yang pada
hakikatnya juga menaikkan suatu hadits yang terlanjur dipandang sebagai dha’if.
IV.
KESIMPULAN
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan bahwa sebenarnya hadits dha’if tidak dapat diterima begitu saja menjadi
pegangan umat Islam. Kemungkinan itu baru ada apabila terdapat berbagai bukti
atau fakta yang mendukung hadits tersebut sehingga tarafnya meningkat kepada
status yang lebih tinggi. Kalaupun ada ulama yang menerima hadits ini,
sebenarnya mereka tidak menerima begitu saja, mereka mengajukan berbagai
persyaratan yang pada hakikatnya juga menaikkan suatu hadits yang terlanjur
dipandang sebagai dha’if.[10]
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Tihami, M. A. Ulumul
Hadits. 2010. Bogor: PT Ghalia
Indonesia.
Ikhrom. Pengantar Ulumul Hadits. 2015. Semarang:
UIN Walisongo.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul
Hadits. 2012. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Sattar, Abdul. Ilmu Hadis. 2015. Semarang:
Rasail Media Group.
No comments:
Post a Comment