HADITS DHAIF YANG SELAIN
TERPUTUSNYA SANAD
MAKALAH
Disusun
Guna memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ulumul Hadits
Dosen
Pengampu: Dr. H. Ikhrom, M.Ag.

Disusun
:
1. Rizka
Aulia Putri (1503036) (MPI 2-C)
2. Miftakh
Fallakh (1503036105) (MPI2-C)
3. Nurul
Izza (1503036119) (MPI 2-C)
MPI 2-C
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UNIERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam Al-Qur’an dan
hadits, baik secara tersurat maupun tersirat diterangkan bahwa hadits menempati
kedudukan sebagai sumber tasyri yang
kedua sesudah Al-Qur’an. Namun, walaupun keduanya merupakan sumber tasyri Islam, dalam penulisan dan dikondifikasinya
satu sama lain berbeda.
Hadits Dhai’f
yang menurut masyarakat hadits lemah dapat menjadi sandaran bagi
ungkapan-ungkapan seseorang untuk mengklasifikasikan hadits tersebut. Bila kita
cermati pengertian baik dari kadha’ifan sebuah hadits bisa terjadi pada sanad,
matan atau bahkan kedua-duanya yakni sanaf dan matan sekaligus. Perlu juga
ditegaskan disini bahwa hadits Dha’if
juga memiliki tingkatan-tingkatan; dari hadits yang sangat parah ke’dha’ifannya
seperti hadits matruk sampai hadits
yang kedha’ifannya agak “ringan” seperti hadits muda’af.
Untuk menjelaskan lebih
detail, berikut akan dikemukakan seputar hadits Dha’if yang selain
terputusnya sanad.
B. Rumusan masalah
1.
Apa pengertian
hadits Dha’if ?
2.
Bagaimana hadits
Dha’if dilihat dari selain terputusnya
sanad ?
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hadits Dhaif
Secara etimologis, term dha’if berasal dari kata Dhuf’un yang berarti “lemah”, lawan dari term al-qawiy. Yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang
dimaksud dengan hadits Dhaif adalah
hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
A. Secara terminologis, para ulama berbeda
pendapat dalam merumuskannya. Namun demikian, secara substansial, kesemuannya
memilki persamaan arti, Imam al-Nawawi, misalnya, mendefinisikan hadits Dhaif dengan: hadits yang di dalamya
tidak terdapat syarat-syarat hadits hadits shahih
dan syarat-syarat hadits hasan”.
B. Sedangkan menurut Ajjaj al-Khathib, hadits dhaif dengan: “ hadits yang hialng salah
satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul”
(hadits shahih atau hadits yang
hasan.)
C. Berdasarkan definisi rumusan ‘Itr di atas,
dapat dipahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat dari
syarat-syarat hadits shahih atau
hadits hasan, maka hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits dha’if Artinya, jika salah satu syarat saja hilang,
disebut hadits dha’if, lalu bagaimana
jika yang hilang itu dua atau tiga syarat? Seperti, perawinya tidak adil, tidak
dhabith, atau terdapat kejanggalan
dalam matanya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat dinyatakan sebagai hadits
dha’if yang sangat lemah sekali.[1]
B. Dha’if
karena rawinya tidak adil
1)
Hadits Matruk
Hadits Matruk adalah hadits yang diriwayatkan
oleh seorang rawi yang tertuduh berdosa atas apa yang diriwayatkan atau nampak
kefasikannya, baik pada perbuatan atau pada perkataannya, atau orang tersebut
banyak sekali lupa. Menurut al-Qasimi, termasuk juga ke dalam kelompok hadits
ini, segala bentuk hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah dikenal suka
sekali berdusta dalam persoalan selain hadits dan orang yang banyak melakukan
keslahan.[2]
2)
Hadits
Munkar
Hadits munkar berarti
menolak, tidak menerima, lawan dari kata iqrar yang artinya mengakui dan menerima.[3] Hadis munkar adalah hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang dhaif yang berbeda dengan riwayat rawi yang
tsiqah (terpercaya). Sebagai perimbangannya ialah hadis ma’ruf, yaitu hadis
yang diriwayatkan oleh rawi yang terpercaya,yang berbeda dengan riwayat rawi
yang dhaif. Hadist munkar adalah
hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah yang isinya bertentangan dengan
rawi lain yang kualitasnya terpercaya.[4]Ibnu Hajar mengemukakan
bahwa hadits Dha’if yang paling buruk tepat setelah hadits Maudu’ (palsu) secara berurutan adalah hadits Matruk. Selanjutnya menyusul hadits Munkar, kemudian hadits
Mu’alla, hadits Mudraj, hadits Maqlub dan hadits Mudtarib.[5]
Perbedaan antara hadits
munkar dengan hadits ma’ruf ialah, apabila datang dari rawi yang terpercaya
maka disebut hadits ma’ruf, dan apabila datang rawi yang tidak terpercaya
(dhaif) maka disebut hadits munkar. Pengertian hadis diatas adalah pengertian
hadis yang terpopuler dan banyak dijadikan pegangan, sebagaimana yang dikuatkan
oleh Ibnu Hajar.
Menurut Ibnu Al-Shalah,
hadis munkar dan hadis syadz itu sama. Tetapi, pendapatnya itu ditentang oleh
para ahli hadis, seperti Ibnu Hajar yang mengatakan, “ Bahwa orang yang
menyamakan antara pengertian hadis munkar dengan hadis syadz itu sangat
ceroboh.” Apalagi dari segi esensialnya, adalah jauh berbeda, di mana hadis
munkar rawi-rawinya dhaif atau mastur, sedang hadis syadz rawi-rawinya
terpercaya atau orang-orang yang penuh kejujuran.
Contoh hadits
munkar dan hadits ma’ruf ialah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim,
dari riwayat Hubaiyyib bin Habib, saudara Hamzah Al-Zayyat, dari Abu Ishaq,
dari Al-Aizar bin Hurais, dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw, beliau bersabda:
من
اقام الصلاة واتي الزكاة وحخ وصام وقرى الضىف دخل الجنة
“ Barangsiapa
mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, dan menjamu tamu, maka dia
masuk surga.”
Abu Hatim berpendapat, hadits tersebut munkar,
karena dalam riwayat lain hadis tersebut diriwayatkan oleh orang-orang yang
terpercaya yang meriwayatkannya dari Abu
Ishaq dengan jalan mauquf. Dan riwayat inilah yang menjadikannya sebagai hadis
ma’ruf. Sebab Hubaiyyib adalah rawi yang tidak terpercaya, sehingga membuat
kedua riwayat itu berbeda, namun dengan riwayatnya itu justru telah membuat
riwayat hadis ini menjadi hadis ma’ruf.
C. Dha’if
karena sandarannya
Ada dua jenis hadits Dha’if
yang masuk kelompok ini, yaitu hadits Mauquf dan hadits Maqtu’.
Hadits mauquf adalah hadits yang
diriwayatkan dari para sahabat baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan
baik periwayatannya bersambung atau tidak. Dengan kata lain, hadits Mauquf sebenarnya adalah perkataan,
perbuatan dan ketetpan sahabat Nabi.
Sedangkan hadits Maqtu adalah hadits yang diriwayatkan
dari tabi’in dan disandarkan kepada mereka baik perkataan maupun perbuatan.
Dengan kata lain, hadits Maqtu adalah
perkataan dan perbuatan tabi’in.
Dua jenis hadits tersebut
masuk dalam kategori hadits Dha’if
karena tidak disandarkan kepada Nabi SAW. Seperti yang sudah maklum, hadits
pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi. Itulah
sebabnya ada sebagian yang menyebut hadits Mauquf
dengan al-asar dan hadits Maqtu dengan al-kabar.[6]
D. Dha’if
karena kejanggalan (Syaz) dan
kecacatan (‘Illah)
1. Hadits syaz
Hadits syadz adalah
hadits yang sebenarnya diriwayatkan oleh orang yang Maqbul (diterima) namun riwayatnya bertentangan dengan rawi lain
yang kualitasnya lebih baik dan jumlahnya lebih banyak. Hal seperti ini terjadi
karena keduanya tidak mungkin dikompromika. Dengan demikian, karena kalah
kualitas, maka jelas riwayat dari orang yang Maqbul tersebut harus dikalahkan.[7]
2.
Hadits mu’allal
Hadis
Mu’allal
Dalam bahasa, mu’allalعلل يعلل تعليلا
فهو معلل berasal dari akar kata ‘illah yang diartikan al-maradh
= penyakit. Seolah-olah hadits itu terdapat penyakit yang membuat tidak
sehat dan tidak kuat.
هو الحديث الذي
اطلع فية علي علة تقدح في صحته مع ان الظاهر السلامة منها
Hadis yang dilihat di dalamnya terdapat ‘illah yang
membuat cacat keshahihan hadis, padahal lahirnya selamat daripadanya.
Kriteria
dari bentuk ‘illah adalah adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu
mengurangi atau menghilangkan keshahihan suatu hadits. Jika cacat itu tidak
tersembunyi dan tidak mengurangi keabsahan suatu hadits, tidak disebut ‘illah.
Oleh karena itu, para ulama membatasi illat yang bisa menghilangkan keshahihan suatu
hadits dengan sebutan “illah Qaadihah” (illat yang membuat cacat
hadits).[8]
E. Dha’if karena lemahnya hafalan
1. Hadits mudraj
Kata
“ mudraj” secara etimologi dikeluarkan dari kata “idraj” yang berarti
“memasukkan”. Sedang menurut terminologi, hadis mudraj terbagi menjadi dua,
yaitu:
·
Mudraj dalam matan
ما
ادخل في متنه ما ليس منه بلا فصل
Hadis yang
dimasukkan ke dalam matanya yang bukan darinya tanpa ada pemisah.
Dari
pengertian diatas ghadits mudraj adalah tambahan atau sisipan dari seorang
perawi untuk menjelaskan atau memberikan pengantar matan hadis,tetapi tidak ada
pemisah yang membedakan antara tambahan atau sisipan dan matan hadis tersebut.
Diantara faktor penyebab kemungkinan terjadinya mudraj karena seorang perawi
menjelaskan hukum syara’ yang berkaitan atau istinbat hukum atau memberikan
syarah lafal hadits yang gharib (sulit dipahami).
Contoh mudraj pada awal matan,hadits
riwayat Al-Khathib dari Abi Qathan dan Syababahdari Syu’bahdari Muhammad bin
Zayad dari Abu Hurairoh berkata: Rasulullah saw bersabda:
اسبغوا
الوضوء ويل للاعقاب من النار
Sempurnakan wudlu,
celaka bagi beberapa tumit kaki dari ancaman api neraka.
Kata اسبغو الوضوء
adalah mudraj(sisipan) dari perkataan Abu Hurairoh sebagaimana periwayatan
Al-Bukhari dari Adam dari Syu’bah dari Muhammad bin Zayad dari Abu Hurairoh
berkata
اسبغوا
الضوء فان اباالقاسم صلي الله عليه وسلم قل ويل للاعقاب من النار
Sempurnakan
wudlu, maka sesungguhnya Abu Al-Qasim berkata:”celaka bagi beberapa tumit kaki
dari ancaman api neraka.”
Hukum periwayatan sisipan
atau tambahan ke dalam hadits mudraj haram menurut ijma’ ulama, kecuali jika
dimaksudkan memberikan tafsir atau penjelasan lafal hadits yang sulit dipahami
maknanya (gharib al-hadits).
·
Mudraj pada sanad
ما
غير سياق اسناده
Hadits
yang diubah konteks sanadnya.
Hadits
mudraj kemungkinan terjadi salah satunya karena sekelompok jamaah meriwayatkan
suatu hadits dengan beberapa sanad yang berbeda, kemudian diriwayatkan oleh
seorang perawi dengan menyatukan ke dalam satu sanad dari beberapa sanad
tersebut tanpa menerangkan ragam dan perbedaan sanad.
Contoh hadits mudraj pada sanad yang terakhir,
kisahnya Tsabit bin Musa ketika bertamu pada Syarikh bin Abdullah Al-Qadhi yang
sedang menyampaikan periwayatan sanad hadits dengan imla’ (dikte).ia berkata:
Memberitakan kepada kami Al-A’masy dari Abu
Sufyan dari Jabir dari Rasulullah saw... ia diam sejenak ... karena Tsabit bin
Musa datang. Kemudian ia berkata:
من
كثرت صلاته بالليل حسن وجههه بالنهار
Barangsiapa yang
banyak shalat pada malam harinya, maka berseri-seri wajahnya pada siang
harinya.
Tsabit menduga bahwa ungkapan tersebut adalah
matan dari sanad hadits yang didiktekan kepadanya, kemudian ia meriwayatkannya.
Padahal yang dimaksudkan dengan ungkapan tersebut di atas adalah seorang Tsabit
sendiri karena ia seorang zahid dan wara’.
1.
Hadits Maqlub
Hadits maqlub ialah yang di dalamnya terdapat
perubahan, baik dalam sanad maupun matanya, baik yang disebabkan oleh adanya
pergantian lafadz lain, atau disebabkan oleh susunan kata yang terbalik
(mendahulukan kata-kata yang semestinya di akhir kalimat atau sebaliknya).
Contoh hadits
Maqlub
Maqlub
dapat terjadi pada sanad dan bisa juga pada matan. Maqlub pada sanad misalnya
periwayatanya hadits dari ka’ab bin Murrah. Sedangkan maqlub pada matan
misalnya hadits yang diriwatkan oleh Ibnu umar berkata:
فاذا
انا
باالنبي صلي الله عليه وسلم جالسا علي مقعدته مستقبل القبلة مستدبر الشام
Maka ketika itu
aku bersama Nabi saw, beliau duduk di atas bangku menghadap kiblat dan
membelakangi Syam.
Hadits di atas di
maqlub kan menjadi:
مقعدته مستقبل القبلة
Menghadap syam dan
membelakangi qiblat.
2.
Hadits Mudhtharib
Hadits mudhtharib adalah hadits yang kontra antara
satu dengan yang lain tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat ditarjih (tidak
dapat dicari yang lebih unggul) dan sama kekuatan kualitasnya. Di antara sebab
idhthirabnya suatu hadits adalah karena lemahnya daya ingat perawi dalam
meriwayatkan hadits tersebut, sehingga terjadi kontra yang tidak kunjung dapat
diselesaikan solusinya.
Contoh
mudhtharib pada sanad, seperti hadits Abu Bakar berkata: Ya Rasulullah aku
melihat engkau beruban. Rasulullah manjawab:
شيبتني
هود واخواتها
Membuat uban
rambutku Surah Hud dan saudara-saudaranya. (HR. At-
Tirmidzi)
Contoh mudhtharib pada matan, seperti
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari syarik dari Abu Hamzah dari
Asy-Syabi’ dari Fathimah binti Qays berkata: Rasulullah ditanya tentang zakat
menjawab:
ليس
في المال لحقا سوى الزكاة
Tidak ada hak pada
harta itu ada hak selain zakat
Sementara pada riwayat Ibnu Majah,
melalui jalan ini Rasulullah saw bersabda:
ليس
في المال حق سوى الزكاة
Tidak ada hak pada
harta selain zakat.
Al-Iraqi berkata.”Hadits di atas terjadi idhthirab tidak
mungkin dita’wilkan.” Hadis pertama menyatakan adanya hak bagi harta selain
zakat, sementara hadits kedua menyatakan sebaliknya, yaitu tidak adanya hak
selain zakat atau hanya saja sebagai hak harta.
III.
PENUTUP
Hadits Dha’if yang selain terputusny sanad mengalami
beberapa interaksi yang saling berhubungan dengan lainnya, sehingga suatu
permasalahan yang mungkin sulit di cerna menjadi dapat mudah di kerjakan dengan
adanya solusi dalam kriterianya. Untuk yang selain terputusnya sanad dapat di
temukan suatu kejanggalan maupun illat yang dapat membuat hadits tersebut di
katakan lemah, dalam artian tidak bisa di gunakan sebagai hujjah.
DAFTAR PUSTAKA
Ichwa, Mohammad
Nor,Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, Semarang:
Rasail Media Group, 2013.
Sattar,
Abdul, Ilmu Hadits, Semarang: Rasail
Media Group, 2015.
Khon,Abdul
Majid, Ulumul hadist,Jakarta:Amzah,2012.
Al-Maliki,
Muhammad Alawi,Ilmu Ushul hadis,Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2006
[1]
Mohammad Nor Ichwan,Membahas Ilmu-Ilmu
Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2013), hlm. 221-222.
[2]
Abdul Sattar, Ilmu Hadits, (Semarang:
Rasail Media Group, 2015), hlm. 119-120.
[3]
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag,ulumul hadis,(Jakarta:Amzah,2012),
hlm. 211.
[4]
Abdul Sattar, Ilmu Hadits, (Semarang:
Rasail Media Group, 2015), hlm. 121.
5 Abdul Sattar, Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media
Group, 2015), hlm. 121.
[6]
Abdul Sattar, Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media
Group, 2015), hlm. 129.
7 Abdul Sattar, Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media
Group, 2015), hlm. 125.
[8]
Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki,Ilmu Ushul hadis,(Yogyakarta:Pustaka
Pelajar,2006), hlm.123.
No comments:
Post a Comment