HADIST SHAHIH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul hadits
Dosen Pengampu: Dr. Ikhrom, M.Ag

Disusun Oleh:
Siti
zumrohatun (1503036040) (MPI-2A)
Husnul
adib (1503036088)(MPI-2C)
Lisa
kholifah (1503036102)
(MPI-2C)
Ulfatur
Rohmah (1503036116) (MPI-2C)
MPI-2C
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2016
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sumber hukum islam yang utama adalah
Al Qur’an dan Al Hadits. Dalam Al Qur’an berisi tentang hukum-hukum yang
tertulis secara umum namun dalam Al Hadits menguraikan hukum-hukum umum yang
tertulis dalam Al Qur’an secara lebih terinci. Contoh hadits-hadits yang
menjelaskan tentang masalah-masalah dalam Al Qur’an adalah hadits shahih,
hadits hasan dan lain-lain.
Namun dalam kehidupan sehari-hari yang banyak digunakan untuk
menyelesaikan suatu masalah adalah hadits shahih, karena hadits tersebut
dianggap sebagai hadits paling sempurna diantara hadits-hadits yang lain.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian hadis shahih ?
2. Apa
syarat-syarat hadis shahih menurut imam bukhari dan imam muslim ?
3. Bagaimana
makna muttasilus sanad?
4. Bagaimana
dalil keshahihan sebuah hadis ?
II.
PEMBAHASAN
1. Pengertian hadis
shahih
istilah hadits shahih terdiri dari dua kata yaitu
“hadits” dan “shahih”. Secara etimologi hadits berarti berota.,
informasi,komunikasi. Sedangkan shahih artinya benar, sah/valid. Kedua kata
tersebut digunakan untuk menungkapkan pengertian bahwa sebuah hadits dianggap
atau diberi atribut shahih. Dengan atribut shahih tersebut, maka sebuah hadits
bisa diterima sebagai dalil, hujjah, atau sumber ajaran islam.[1]
Definisi hadits shahih menurut lughat adalah
lawan “saqim”, artinya sehat lawan sakit,
hak lawan batil. Menurut istilah muhaditsin, hadits shahih adalah:
Artinya :
مَانَقَلَهُ تَامٌ الضَّبْطِ مُتَّصِلٌ السَّنَدِغَيْرُمُعَلِّلِ
وَلاَ شَادٍّ.
“Hadits yang
dinukilkan atau diriwayatkan oleh rawi-rawi yang adil, sepurna
ingatan,msanadnya bersambung-sabung, tidak ber’illat, dan tidak janggal.”[2]
Hadist shahih juga bisa didefinisikan dengan hadits
yang bersambung-sambung sanadnya atau pertalian perawi-perawinya dengan
orang-orang yang adil lagi cukup teguh ingatannya serta terlepas dari segala
keganjilan (syududz) dan cacat. [3]
Hadis sahih ada dua macam yaitu:
1.
sahih li dzatihi yaitu: hadis yang
sahih dengan sendirinya tanpa diperkuat dengan keterangan. contohnya
adalah sabda nabi muhammad SAW: “Tangan
diatas (yang memberi) dari tangan yang
dibawah (yang menerima).”(HR.Bukar dan
musliim).
2.
sahih li ghairihi yaitu :hadis yang kesahihannya diperkuat dengan
keterangan lain. contohnya sabda nabi muhammad SAW yaitu: kalau sekiranya tidak
terlalu menyusahkan ummatku untuk mengerjakannya, maka aku perintahkan bersiwak
setiap akan salat.”(HR. hasan).
Dilihat dari sanadnya, semata-mata hadis hasan
lidzatihi, namun karena dikuatkan oleh riwayat bukhari maka jadilah ia sahih li
ghairihi.
2.
Syarat-syarat
hadits shahih menurut imam al-bukhari dan imam muslim
Menurut imam bukhari syarat-syarat hadits shahih
adalah sebagai berikut
a.
Bersambung sanadnya
Yang dimaksud
dengan ketersambungan sanad adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan
benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya
sampai kepada pembicara yang pertama. Sanad suatu hadits dianggap tidak
bersambung bila terputus seorang atau lebih dari rangkaian para rawinya.
b.
Keadilan para perawinya
Uraian arti adil
dan perincian syarat-syaratnya telah disebutkan dimuka. Keadilan rawi merupakan
faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena keadilan itu merupakan
suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertaqwa dan mengekangnya dari
berbuat maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang merusak harga diri (muru’ah)
seseorang.[4]
Menurut ibn
As-Sam’ani, keadilan harus memenuhi syarat:
a)
Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat;
b)
Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai afama dan sopan santun;
c)
Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggurkan iman dan
dapat mengakibatkan penyesalan
d)
Tidak mengikuti pendapat salah satu madhab yang bertentangan dengan dasar
syara’.[5]
c.
Ke-dhabit-an para perawinya
Yang dimaksud
dhabit adalah rawi hadits yang bersangkutan dapat menguasai hadits nya dengan
baik, baik dengan hapalannya yang kuat ataupun dengan kuat ataupun dengan
kitabnya, kemudian ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.
Unsur-unsur dhabit adalah:
A.
Tidak pelupa;
B.
Hafal terhadap apa yang ditekan kepada muridnya apabila ia memberikan
hadits dengan hafalannya, dan terjaga kitabnya dari kelemahan apabila ia
meriwayatkan hadits dengan kitabnya;
C.
Menguasai apa yang doriwyatkn,
memahami maksudnya, dan mengetahui makna yang dapat mengalihkan maksud
apabila ia meriwayatkan hadits menurut makna nya saja. Rawi yang adil dan
dhabit disebut tsiqat.[6]
d.
Tidak rancu
Kerancuan
(syudzudz) adalah suatu kondisi dimana seorang rawi berbeda dengan rawi lain
yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini dianggap rancu karena bila ia berbada
dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya, baik dari segi kekuatan daya
hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para rawi yang lain itu harus
di unggulkan, dan ia sendiri disebut syadzadz atau rancu. Dan karena
kerancuannya maka timbullah penilaian negatif terhadap periwayatan hadis yang
bersangkutan.
e.
Tidak ada cacat
Maksudnya adalah
bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat-cact keshahihan yakni hadits
itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak
bahwa hadits itu tidak menunjukkan adanya cacat-cacat tersebut. Dengan kriteria
ini maka definisi diatas tidak mencakup hadits mu’allal bercacat.[7]
3.
Makna
muttasilus sanad
a.
Rawi
Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang
meriwayatkan atau memberitakan hadits. Rawi adalah orang yang menyampaikan atau
menuliskan dalam sebuah kitab, hadis itu yang pernah di dengar atau diterima
dari seseorang atau gurunya. Bentuk jamaknya ruwat, perbuatan menyampaikan
hadis tersebut dinamakan me-rawi-kan hadis.[8]
b.
Tsiqah rawi
Tsiqah Rawi adalah Kredibel, di mana pada diri
seorang rawi terkumpul sifat al-Adalah
(Potensi yang dapat membawa pemiliknya kepada takwa, dan
menghindari hal-hal tercela dan segala hal yang dapat merusak nama baik dalam
pandangan orang banyak. Predikat ini dapat diraih seseorang dengan
syarat-syarat: Islam, baligh, berakal sehat, takwa, dan meninggalkan hal-hal
yang merusak nama baik) dan adh-Dhabt (hafalan
yang bagus).
c.
Syadz
Dari segi
etimilogi syadz berasal dari kata syadzda-yasyudzu-syadzdzan yang diartikan
ganjil, tidak sama dengan yang mayoritas, tersendiri dari kelompoknya, atau
bertentangan dengan kaidah.
Menurut al-syafi’i
dan ulama hijaz memberikan definisi:
ماروه الثقة مخالفا من هواوثق منه اومخالفا جماعة فيه.
Hadits yang diriwayatkan oleh orang tsiqah, (tetapi)
menyalahi atau bertentangan dengan periwayatan orang banyak. Tidak dinamakan
orang tsiqah orang yang meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh orang
tsiqah lainnya.
d.
Illat seorang rawi
Illat adalah sebab yang samar-samar, tersembunyi yang
merusak keshahihan suatu hadits.Dengan mengambil pengertian ‘illat ini,
bahwasanya ‘illat menurut para ulama ahli hadits harus memiliki 2 syarat yaitu:
o Samar-samar dan tersembunyi
o Merusak keshahihan suatu hadits
Apabila kosong (tidak ada) salah satu dari kedua syarat itu – seakan-akan menjadikan ‘illatnya secara dzahir atau tidak
merusak, maka tidak dinamakan ‘illat.
4. Contoh hadits shahih
Diantara hadis-hadis
shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh al- Bukhari dan muslim, diantaranya
adalah:
1. Hadits yang
dikeluarkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya, yang berkata:
حدثنا عبد
الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعيم عن أبيه قال
سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم قرأ في المغرب بالطور حدثنا عبد الله بن
يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعيم عن أبيه قال سمعت رسول
الله صلى الله عليه و سلم قرأ في المغرب بالطور
“Telah
bercerita kepada kami ‘Abdullah ibn Yusuf, yang berkata telah mengkhabarkan
kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad ibnu Jubair ibn Muth’im,
dari ayahnya, yang berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam membaca surah ath-Thur pada waktu shalat maghrib.”
Hadits ini shahih, karena:
1. Sanad-nya
bersambung, sebab masing-masing rawi
yang meriwayatkannya telah mendengar hadits tersebut dari gurunya. Sedangkan
adanya ‘an’anah (hadits yang
diriwayatkan dari gurunya dengan menggunakan lafazh ‘an), yaitu Malik, Ibn
Syihab dan Ibn Jubair, termasuk bersambung, karena mereka bukan mudallis. Mudallis adalah orang yang terbiasa menyembunyikan cacat yang
ada pada sanad, jika seorang mudallis
meriwayatkan dengan cara ‘an’anah
maka haditsnya tertolak.
2. Para periwayatnya tergolong ‘adil dan dhabith. Kriteria mengenai para rawi hadits ini telah ditentukan oleh para ulama al-Jarh wa at-Ta’dil (ulama yang
meneliti ke-tsiqah-an para
periwayat hadits), yaitu:
a)
Abdullah ibn Yusuf: orangnya tsiqah dan mutqin (cermat).
b)
Malik ibn Anas: imam sekaligus hafizh.
c)
Ibn Syihab az-Zuhri: orangnya faqih, hafizh, disepakati tentang ketinggian dan kecermatannya.
d)
Muhammad ibn Jubair: tsiqah Jubair ibn Muth’im: shahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
e)
Tidak ada syadz, karena tidak bertentangan dengan perawi yang lebih kuat.
2. Hadis yang
diriwayatkan imam al-Bukhari dan muslim, yaitu:
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا
جريرعن عمارة بن إلقعقاع عن ابي زرعة عن ابي هريرة قال :جأ رجل الي رسول الله صلي
الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله من احق بحسن صحابتي؟قال: امك. قال: ثم من؟ قال
: امك. قال :ثم من ؟ قال :امك. قال :ثم من ؟ قال ثم ابوك.
“Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin sa’id, ia
berkata:”meriwayatkan kepada kami jarir dari ‘umarah bin al-Qa’qa’ dari abu
zur’ah dari abu hurairah, ia berkata: ‘Ya rasulullah, siapakah orang yang
paling berhak mendapatkan perlakuanku yang baik?’Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’
Orang itu bertanya:’kemudian siapa?’ Rasulullah menjawab: ‘Ibumu.’Orang itu
bertanya lagi:’ kemudian siapa?’Rasulullah menjawab:’Ibumu.’Orang itu kembali
bertanya:’ kemudian siapa?’Rasulullah menjawab:’kemudian bapakmu.”
Sanad hadis
diatas bersambung melalui pendengaran orang yang adil dan dhabith dari orang
yang semisalnya. Al-Bukhari dan muslim adalah dua orang imam yang agung dalam
bidang ini. Dan guru mereka Qutaibah bin Sa’id, adalah orang yang tsiqat dan
tsabt serta berkedudukan tinggi.
Jarir adalah
putra abdul hamid, seoarang yang stiqat dan sahih kitabnya. Ada yang mengatakan
pada akhir hayatnya ia meragukan apabila ia telah meriwayatkan berdasarkan
hafalannya. Namun hal ini tidak jadi masalah karena Qutaibah bin Sa’id adalah
salah seorang muridnya yang seniordan telah dahulu mendengar hadis-hadisnya.
Begitu pula dengan ‘Umarah bin Al-Qa’qa’ juga seorang tsiqat. Demikian pula Abu
Zur’ah al-Tabi’i. Ia adalah putra ‘Amr bin jarir bin abdullah Al-Bajali.
Para rawi
dalam sanad di atas seluruhnya orang tsiqat dan dipakai berhujjah oleh para
imam. Untaian sanad di atas telah di kenal di kalangan muhaddisin, dan padanya
tidak terapat hal-hal yang janggal. Demikian pula matan hadis tersebut sesuai
denganm dalil-dalil lain tentang masalah yang sama. Jadi hadis tersebut
termasuk hadis sahih dengan sendirinya(sahih
li dzatihi).[9]
III.
KESIMPULAN
Dari
kesimpulan diatasdapat kami simpulkan bahwa hadis sahih merupakan sebuah hads
yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang adil, dan yang
dhabitdari rawi yang lainyang juga adil dan habit sampai akhir sanad. Dan hadis
itu tidak anggal serta tidak mengandung cacat (‘illat). perbedaan antara hadis
sahih imam bukhari dan imam muslim teletak pada tersambungnya sanad dan saat penulisan hadis tersebut. Dari imam
bukhari ada 2 syarat: pertemuan dan semasa. Sedangkan imam muslim hanya semasa.
Kebanyakan hadis shahih berasal dari hadis ahad.
Dan kita dapat
mengetahui tentang makna, syarat-syarat dan bagaimana cara menguraikan
bagian-bagian dari hadis sahih lengkap dengan sanadnya serta bisa membedakan
hadis yan tergolong hadis sahih imam muslim atau imam bukhari. Dengan demkian
kita diharabkan mampu menganalisis hadis secara lebih teliti serta dapat
membedakan mana yang disebut hadis sahih mana yang bukan.
Daftar pustaka
Badri khaeruman, ulum
al hadist,( bandung, Pustaka setya, 2010)
Ikhrom, pengantar
ulumul hadits,semarang, CV. Karya abadi jaya, 2015
Ismail, Syuhudi, pengantar ilmu hadis(bandung:ANGKASA,1987)
Muhammad hasbi ash-ahiddieqy, teungku, ilmu-ilmu al-Qur’an, (semarang;pustaka
rizki putra, 2009)
Salim, Mu’in, metodologi
ilmu tafsir,( Yogyakarta:TERAS, 2005)
Sya’roni, mokh, metode
kontemporer tafsir Al-Qur’an, (semarang;IAIN walisongo semarang, 2012)
Sirojuddin iqbal, mashuri dan A. fudlali, pengantar ilmu tafsir, (bandung;angkasa bandung, 1987)
Teungku muhammad hasbi
ash-shiddieqy, sejarah dan pengantar ( ILMU HADITS), Semarang, PT
PUSTAKA RIZKI PUTRA,
[1]Ikhrom,
pengantar ulumul hadits,semarang, CV. Karya abadi jaya, 2015, Hal 182
[2]Badri
khaeruman, ulum al hadist, bandung, Pustaka setya, 2010, hal 119
[3]
Teungku muhammad hasbi ash-shiddieqy, sejarah dan pengantar ( ILMU HADITS), Semarang,
PT PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2013, Hal 301
[4]Nuruddin,
ulum al-hadits, bandung, PT remaja rosdakarya, 1997, hal 2-3
[5]
Badri khaeruman, ulum al hadist, bandung, Pustaka setya, 2010, hal 120
[7]
Nuruddin, ulum al-hadits, bandung, PT remaja rosdakarya, 1997, hal 3-4
[8]
Syuhudi ismail, pengantar ilmu hadis,
(bandung:ANGKASA, 1987)
[9]
Nuruddin, ulum al-hadits, bandung, PT remaja rosdakarya, 1997, hal 5-6
No comments:
Post a Comment