PROSES AL-ADA’ WA TAHAMMUL AL-HADITS
Makalah disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu
: Dr. Ikhrom, M. Ag.

Disusun Oleh :
1.
Barokah
Nur Azizah (1503036021) MPI_2A
2.
Elya
Isfiya (1503026118)
PBA_2C
3.
Amanatul
A. M (1503036108) MPI_2C
4.
Khoiron
Hilmy (1503036094) MPI_2C
Kelas MPI_2C
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM WALISONGO
SEMARANG
2016
- PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para
pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang
jujur, amanah, dan memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan
perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam
hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Ilmu hadits adalah suatu ilmu
tentang sabda, perbuatan, ketepatan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniyah
Rasulullah SAW beserta sanad – sanadnya dan ilmu pengetahuan untuk membedakan
kesahihan, kehasanan dan kedha’ifannya daripada lainnya, baik secara matan
maupun sanadnya. Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat
konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya
berdasarkan kaidah – kaidah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan
diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat – syarat yang amat rumit yang
telah ditetapkan oleh ulama’ jumhur. Adapun salah satu ilmu yang sangat
berpengaruh dalam pemeliharaan, penejlasan, pemahaman, dan pengenalan terhadap
para perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadits.
B.
RUMUSAN
MASALAH
a.
Apa
pengertian proses Ada’ Wa Al – Tahammul Al – Hadits ?
b.
Apa
syarat – syarat Mutahammil Dan Mu’addi ?
c.
Apa
saja komponen – komponen penting dalam proses Ada’ Wa Al – Tahammul Al – Hadits ?
d.
Apa
saja 8 Metode Transmisi Hadits ?
- PEMBAHASAN
a.
Pengertian
Proses Al – Ada’ wa Tahammul Al – Hadits
Menurut bahasa tahammul
merupakan masdar dari fi’il madli tahammala (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا)
yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.
Berarti tahammul al-hadits
menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan
tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis
dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:[1]

التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
Sedangkan Ada’ secara bahasa berarti melaksanakan
sesuatu pada waktunya. Secara
terminologi ada’ berarti meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada orang
lain dengan menggunakan kata tertentu. Ada’ juga bisa disebut bagaimana
ungkapan atau bentuk kata yang digunakan dalam menyampaikan hadits.
Proses Ada’ Wa Tahammul Hadits
adalah mengkaji tentang seseorang untuk diperkenankan menerima dan menyimpan
sebuah hadits, dan kepantasan seseorang untuk menyampaikan (meriwayatkan)
sebuah hadits.
b.
Syarat – syarat Mutahammil dan
Mua’addi
1.
Mutahammil
Adapun syarat bagi seseorang yang
dapat mendengar dan meriwayatkan hadits hanya satu yaitu Tamyiz.
Tamyiz
Tamyiz sendiri mempunyai arti seseorang yang sudah
dapat membedakan sesuatu yang benar dan salah. Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz.
Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama
hadist pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun
atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal
berusia 30 tahun. Kenapa hanya
tamyiz yang menjadi persyaratan dari Mutahammil, karena semua orang boleh
mendengarkan tetapi jika orang kafir yang mendengarkan maka ia tidak boleh
meriwayatkan. Salah satu perawi hadits yang mempunyai riwayat hidup menjadi
kafir sebelum masuk islam dan berhasil meriwayatkan hadits, yaitu sahabat Abu
Hurairah. Saat beliau mendengarkan dan menghafalkan hadits – hadits nabi dalam
keadaan kafir dan dia masuk islam dan meriwayatkan hadits yang sudah beliau
hafalkan sejak dini.
2.
Mu’addi
Semua ulama
Hadits, Ushul dan fiqih mensyaratkan untuk orang yang dapat kita berhujjah
dengan riwayatnya, baik dia lelaki, ataupun perempuan, yaitu :
a.
Beragama islam
Karena hadits tidak dapat diriwayatkan oleh orang kafir, walaupun dia bukan
orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati – hati menerima riwayat orang
fasiq sebagai yang diterangkan pada surat al hujurat ayat 6.
يَآيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا إنْ جَآكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإنْ فَتَبَيَّنُوْآ أنْ تُصِيْبُوْآ قَوْمًا بِجَهَلَةٍ فَتُصْبِحُوْآ
عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ
Artinya : “ wahai orang – orang yang beriman ! jika seseorang yang Fasiq
datang kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak
mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu
menyesal perbuatanmu itu.” ( QS. Al – Hujarat : 6)
b.
Sudah sampai umur
Hadits tidak dapat diterima oleh
anak – anak yang belum sampai umur dengan berakal.
c.
Adil
Yaitu sifat yang tetap terhunjam pada seseorang yang mendorong yang
bersifat dengan keadilan itu, berlaku taqwa dan memelihara muru’ah. Karenanya
timbullah kepercayaan masyarakat kepadanya.
d.
Kedlabithan
Yaitu si perawi itu sadar benar apa
yang didengarnya dan dipahaminya dengan baik, serta dihafalnya sejak dari dia
menerima sampai kepada dia menceritakan kepada orang lain. Untuk mengetahui
kedlabithannya seseorang ialah mencek riwayatnya dengan riwayat orang lain.
Jika bersesuaian dengan riwayat orang lain walaupun pada ma’na, maka
diterimalah riwayatnya. Tetapi jika ada banyak perbedaan dengan riwayat orang
lain, tentulah riwayatnya tidak dapat diterima.[2]
c.
Komponen – Komponen Penting dalam Proses
Tahammul Wa Al – Ada’
Dalam sebuah hadits terdapat komponen
– komponen yang penting, yaitu :
1.
Mu’addi
Mu’addi merupakan bentuk isim fa’il
dari dari lafazh “أَدَى – يُؤْدِى” yang berarti mencetuskan. Dan
Mu’addi berarti orang yang mencetuskan atau meriwayatkan hadits kepada orang
lain.
2.
Al – Ada’
Al – ada’ merupakan bentuk isim
mashdar dari lafazh "أَدَى – يُؤْدِي- أَدَاءً"
yang berarti
proses menyampaikan atau meriwayatkan sebuah hadits kepada orang lain.
3.
Matan
Kata matan
menurut bahasa berarti unggung jalan, atau tanah yang keras dan tinggi (مَا صَلُبَ
وَ ارْتِفَاعِ مِنَ الْعَرْضِ). Secara terminologis, matan berarti
materi yang berupa sabda, perbuatan, atau taqrir nabi yang terletak setelah
sanad yang terakhir.[3]
Namun ketika didasarkan kembali pada paparan hadits, maka pengertian matan
mengalami sedikit modifikasi. Matan tidak hanya terdiri dari pembicaraan yang
titik terakhir sanad, matan bukan hanya inti pesan nabi saw, jika hadits
bersifat qouliyyah. Matan mencakup sumber hadits (Mashdar Al – Hadits) dan inti
pesannya (Tharf Al – Hadits). Disinilah
terkadang terjadi kesalah kaprahan penyebutan hadits, Padahal yang dimaksud
adalah inti pesan hadits.[4]
4.
Shigah Ar – Riwayah
Sighah
Ar – Riwayah atau metode periwayatan hadits adalah jalan untuk menerima hadits
atau mendapatkan dari guru. Adapun yang dimaksud dengan Shighah Al – Ada’
(bentuk penyampaian hadits) adalah lafaz – lafaz yang digunakan oleh ahli
hadits dalam meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid – muridnya,
contoh : “sami’tu...” (aku telah mendengar) atau “haddatsani...” (telah
bercerita kepadaku).[5]
5. Mutahammil
Mutahammil
adalah fi’il dari lafaz “tahammala - yatahammalu” yang berarti orang
yang mendengar dan meriwayatkan hadits.
6. Tahammul
Tahammul adalah isim mashdar dari lafazh
"تَحَمَّلَ
– يَتَحَمَّلُ- تَحَمُّلاً" yang berarti proses mendengar dan
menyampaikan hadits kepada orang lain.
d.
Metode Transmisi Hadits
Para ulama mengidentifikasi cara
pengambilan dan penerimaan hadits dari para Rawi menjadi 8 macam. Mereka
mengupas dan menjelaskan hukum – hukumnya secara panjang lebar yang garis
besarnya sebagai berikut :
1.
Al – Sima’ ( mendengarkan hadits
dari guru )
Al – sima’ adalah suatu cara yang
ditempuh oleh para muhaditsin periode pertama untuk mendapatkan hadits dari
Nabi Muhammad SAW. Kemudian mereka meriwayatkannya kepada generasi mereka
dengan cara yang sama. Maka tidak heran apabila cara ini dinilai sebagai cara
penerimaan hadits yang paling tinggi tingkatannya. Metode ini lebih dominan
dengan mendengarkan bacaan guru baik dibacakan dengan selintas maupun dengan
cara didektekan. Dan baik dibacakan dari
hafalan sang guru maupun dengan melihat kitabnya. Ungkapan yang
menggunakan metode al – sima’ antara lain :
أخبرنا، أخبرنى : seseorang telah mengabarkan kepadaku, atau kepada kami.
احدثنى، حدثنا
: seseorang telah bercerita kepadaku
atau kepada kami.
سمعنا ، سمعت : saya telah mendengar kami telah mendengar.
2.
Al – ‘Ardh ( membaca )
Para Muhadditsin menempuh cara ini
setelah pembukuan hadits banyak dilakukan dan tersebar diberbagai tempat. Makna
Al – ‘Ardh menurut mereka adalah membaca hadits di hadapan guru berdasarkan
hafalan maupun dengan melihat kitab. Terdapat perselisihan pada tingkatan mana
yang lebih tinggi diantara Al – Sima’ dan Al – ‘Ardh. Tetapi Malik memberi
pernyataan bahwa apabila pencari hadits belum mencapai tingkatan ini, maka
pembacaan hadits di hadapan guru itu tidak mengungguli Al – Isma’.[6]
3.
Al – ijazah ( ijazah )
Al – ijazah adalah izin guru hadits
kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab yang diriwayatkan darinya
padahal murid itu tidak mendengar hadits tersebut atau tidak membaca kitab
tersebut dihadapannya. Dan metode ijazah ini memiliki tujuh ragam bentu, yaitu
:
Ø Guru mengijazahkan
kepada seseorang atau beberapa orang tertentu dengan sebuah kitab yang
disebutkan namanya.
Ø Ijazah umum,
seperti guru mengatakan “aku memberi ijazah kepada seluruh muslimin atau semua
orang yang ada”.
Ø Ijazah kepada
orang yang majhul atau dengan hadits majhu. Cara ini sangat tidak boleh.
Ø Memberi ijazah
dengan hadits yang belum pernah didengar. Seperti seorang guru berkata “ aku
ijazahkan kepadamu hadits yang akan aku
dengar”. Ijazah ini batal menurut para ulama jumhur.
Ø Ijazah secara
majaz, seperti seorang guru berkata “aku mengijazahkan ijazahku kepadamu”.
4.
Munawalah (memberi)
Munawalah merupakan proses seorang
Guru memberikan sebuah hadits, naskah kitab asli atau salinannya pada seorang
murid, terhadap metode munawalah, sebagian ahli ilmu memperkenankan sedangkan
ulama lainnya tidak memperkenankan metode ini sebagai metode periwayatan
hadits. Perbedaan pendapat ini menjadikan munawalah dibagi menjadi dua jenis,
yakni munawalah yang dibarengi ijazah, dan munawalah yang tidak dibarengi
ijazah. Jenis munawalah yang dibarengi ijazah dipandang sederajat dengan metode
Al-Sima’ oleh jumhur ulama ahli hadits, walau tidak sama dengan Al-Sima dan Al-Qiraat
Ala Al Syaikh. Dan jenis munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah adalah
ketika naskah salinannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa itu
adalah apa yang didengar oleh si fulan, tanpa diikuti dengan perintah untuk
meriwayatkannya. adapun ungkapan yang digunakan untuk metode ini adalah :
فلان عن
روايتى او سماعى هذا فآروه ini adalah
hasil pendengaranku atau hasil periwayatanku dari seseorang, maka
riwayatkanlah.[7]
5.
Al-Mukatabah (menulis)
Al-Mukatabah adalah seorang guru
yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits
kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya. Metode Mukatabah ini
juga ada yang dibarengi ijazah dan ada yang tidak dibarengi ijazah. Untuk
mukatabah yang dibarengi ijazah dihukumi sah dan mempunyai martabat kuat,
sedangkan mukatabah yang tidak dibarengi ijazah menimbulkan perbedaan pendapat
tentang sah dan tidaknya. adapun ungkapan untuk metode ini yaitu :
كتابة فلان
حدثنى seseorang telah bercerita padaku
dengan surat menyurat.
كتابة فلان
أخبرنى seseorang telah mengkhabarkan padaku.
6.
I’ilam al-Syaikh ( pemberitahuan )
I’ilam Al-Syaikh adalah
pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya itu adalah
riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan
(menyuruh) agar si murid tersebut meriwayatkannya. Metode ini tidak di
perkenankan oleh para ulama ahli hadits dalam meriwayatkan hadits, karena ada
kemungkinan bahwa guru telah mengetahui bahwa hadits tersebut mengandung cacat.
Adapun ungkapan hadits yang diterima dengan metode Il’amu Al – Syaikh yaitu :
قال فلان أعلمنى seseorang telah memberitahukan
padaku, ujarnya,
حدثنا ... telah berkata kepadaku....
7.
Al-Wasiyah (wasiat)
Al-Wasiyah adalah pesan seseorang di
kala hendak meninggal dunia atau bepergian, dengan sebuah kitab supaya
diriwayatkan. Dalam metode ini ada yang memperbolehkan mengamalkan hadits yang
diriwayatkan dengan metode ini dan ada juga yang tidak memperkenankan dengan
metode ini. Adapun ungkapan yang digunakan untuk metode al – wasiyah yaitu :
آره إلى
حدثنا فيها قال بكتاب فلان الى آوصى seseorang tem-lah
berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab “telah
bercerita padamu si Fulan...”.
8.
Al-Wijadah ( Penentuan )
Al-Wijadah adalah memperoleh tulisan
hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan metote sama’,
qira’ah, maupun metode lainnya. Dapat dikatakan proses penerimaan dan
penyampaian hadits cukup rumit, sehingga untul menilai sebuah hadits diperlukan
ilmu yang cukup dan sikap bijak. ungkapan yang digunakan pada metode ini yaitu
:
فلان بخط
قرأت saya telah membaca tulisan seseorang.
فلانبخط kudapati tulisan seseorang.[8]
III.
PENUTUP
Tahammul al – hadits menurut bahasa
adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al – hadits
menurut istilah ulama’ ahli hadits, sebagaim ahli ilmu cenderung memperbolehkan
ana tertulis dalam kitab Taisir Musthalah Al – Hadits adalah : tahammul artinya
menerima hadits dan mengambilnya dari para syaikh atau guru. Mayoritas ahli
ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak
kecil, yakni anak yang belum mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak
memperbolehkannya. Syarat Mutahammil yaitu :
·
Tamyiz
Sedangkan
syarat – syarat Mu’addi yaitu :
1.
Islam
2.
Baligh
3.
Adil
4.
Dlabith
Komponen
penting dalam hadits :
1.
Mu’addi
2.
Al – Ada’
3.
Matan
4.
Shighah Ar – Riwayah
5.
Mutahammil
6.
Tahammul
Metode – metode yang digunakan dalam Tahammul Al –
Hadits :
1.
Al – Sima’ ( السماع )
2.
Al – ‘Ardl ( العرض
)
3.
Al – Ijazah ( الإجازة
)
4.
Al – Munawalah ( المناولة
)
5.
Al – Mukatabah ( المكاتبة
)
6.
Al – I’lam ( الإعلام )
7.
Al – Wasiyah ( الوصية )
8.
Al – Wijadah ( الوجادة )
Daftar
Pustaka
Ash – Shiddieeqy, Hasbi, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta
: PT. Karya Unipress,1958.
Al – Thahhan, Mahmud, Al – Taisir Musthalah Al – Hadits, Cet.
VII; Riyadh : Maktabah Ma’arif, 1985.
Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, Semarang : UINPress, 2015.
Nuruddin, ‘Ulum Al – Hadits, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 1985.
‘Ajjaj Al – Khatib, Muhammad, Ushul Al – Hadits ‘Ulimuh
Musthalahuh, Beirut : Dar Al – Fikr, 1981.
Kitab Syaikh Manna al-Qaththan
berjudul “Mabahats fi Ulumul Hadits”.
[2] Dr. T. M.
Hasbi Ash – Shiddieeqy, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits,(Jakarta : PT.
Karya Unipress,1958), hal. 38 – 40.
[3]
Mahmud Al –
Thahhan, Al – Taisir Musthalah Al – Hadits, (Cet. VII; Riyadh : Maktabah
Ma’arif, 1985), hal. 31.
[6] Dr. Nuruddin, ‘Ulum
Al – Hadits, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1985), hal. 209-211.
Makalah disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu
: Dr. Ikhrom, M. Ag.

Disusun Oleh :
1.
Barokah
Nur Azizah (1503036021) MPI_2A
2.
Elya
Isfiya (1503026118)
PBA_2C
3.
Amanatul
A. M (1503036108) MPI_2C
4.
Khoiron
Hilmy (1503036094) MPI_2C
Kelas MPI_2C
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM WALISONGO
SEMARANG
2016
- PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para
pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang
jujur, amanah, dan memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan
perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam
hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Ilmu hadits adalah suatu ilmu
tentang sabda, perbuatan, ketepatan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniyah
Rasulullah SAW beserta sanad – sanadnya dan ilmu pengetahuan untuk membedakan
kesahihan, kehasanan dan kedha’ifannya daripada lainnya, baik secara matan
maupun sanadnya. Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat
konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya
berdasarkan kaidah – kaidah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan
diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat – syarat yang amat rumit yang
telah ditetapkan oleh ulama’ jumhur. Adapun salah satu ilmu yang sangat
berpengaruh dalam pemeliharaan, penejlasan, pemahaman, dan pengenalan terhadap
para perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadits.
B.
RUMUSAN
MASALAH
a.
Apa
pengertian proses Ada’ Wa Al – Tahammul Al – Hadits ?
b.
Apa
syarat – syarat Mutahammil Dan Mu’addi ?
c.
Apa
saja komponen – komponen penting dalam proses Ada’ Wa Al – Tahammul Al – Hadits ?
d.
Apa
saja 8 Metode Transmisi Hadits ?
- PEMBAHASAN
a.
Pengertian
Proses Al – Ada’ wa Tahammul Al – Hadits
Menurut bahasa tahammul
merupakan masdar dari fi’il madli tahammala (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا)
yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.
Berarti tahammul al-hadits
menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan
tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis
dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:[1]

التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
Sedangkan Ada’ secara bahasa berarti melaksanakan
sesuatu pada waktunya. Secara
terminologi ada’ berarti meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada orang
lain dengan menggunakan kata tertentu. Ada’ juga bisa disebut bagaimana
ungkapan atau bentuk kata yang digunakan dalam menyampaikan hadits.
Proses Ada’ Wa Tahammul Hadits
adalah mengkaji tentang seseorang untuk diperkenankan menerima dan menyimpan
sebuah hadits, dan kepantasan seseorang untuk menyampaikan (meriwayatkan)
sebuah hadits.
b.
Syarat – syarat Mutahammil dan
Mua’addi
1.
Mutahammil
Adapun syarat bagi seseorang yang
dapat mendengar dan meriwayatkan hadits hanya satu yaitu Tamyiz.
Tamyiz
Tamyiz sendiri mempunyai arti seseorang yang sudah
dapat membedakan sesuatu yang benar dan salah. Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz.
Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama
hadist pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun
atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal
berusia 30 tahun. Kenapa hanya
tamyiz yang menjadi persyaratan dari Mutahammil, karena semua orang boleh
mendengarkan tetapi jika orang kafir yang mendengarkan maka ia tidak boleh
meriwayatkan. Salah satu perawi hadits yang mempunyai riwayat hidup menjadi
kafir sebelum masuk islam dan berhasil meriwayatkan hadits, yaitu sahabat Abu
Hurairah. Saat beliau mendengarkan dan menghafalkan hadits – hadits nabi dalam
keadaan kafir dan dia masuk islam dan meriwayatkan hadits yang sudah beliau
hafalkan sejak dini.
2.
Mu’addi
Semua ulama
Hadits, Ushul dan fiqih mensyaratkan untuk orang yang dapat kita berhujjah
dengan riwayatnya, baik dia lelaki, ataupun perempuan, yaitu :
a.
Beragama islam
Karena hadits tidak dapat diriwayatkan oleh orang kafir, walaupun dia bukan
orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati – hati menerima riwayat orang
fasiq sebagai yang diterangkan pada surat al hujurat ayat 6.
يَآيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا إنْ جَآكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإنْ فَتَبَيَّنُوْآ أنْ تُصِيْبُوْآ قَوْمًا بِجَهَلَةٍ فَتُصْبِحُوْآ
عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ
Artinya : “ wahai orang – orang yang beriman ! jika seseorang yang Fasiq
datang kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak
mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu
menyesal perbuatanmu itu.” ( QS. Al – Hujarat : 6)
b.
Sudah sampai umur
Hadits tidak dapat diterima oleh
anak – anak yang belum sampai umur dengan berakal.
c.
Adil
Yaitu sifat yang tetap terhunjam pada seseorang yang mendorong yang
bersifat dengan keadilan itu, berlaku taqwa dan memelihara muru’ah. Karenanya
timbullah kepercayaan masyarakat kepadanya.
d.
Kedlabithan
Yaitu si perawi itu sadar benar apa
yang didengarnya dan dipahaminya dengan baik, serta dihafalnya sejak dari dia
menerima sampai kepada dia menceritakan kepada orang lain. Untuk mengetahui
kedlabithannya seseorang ialah mencek riwayatnya dengan riwayat orang lain.
Jika bersesuaian dengan riwayat orang lain walaupun pada ma’na, maka
diterimalah riwayatnya. Tetapi jika ada banyak perbedaan dengan riwayat orang
lain, tentulah riwayatnya tidak dapat diterima.[2]
c.
Komponen – Komponen Penting dalam Proses
Tahammul Wa Al – Ada’
Dalam sebuah hadits terdapat komponen
– komponen yang penting, yaitu :
1.
Mu’addi
Mu’addi merupakan bentuk isim fa’il
dari dari lafazh “أَدَى – يُؤْدِى” yang berarti mencetuskan. Dan
Mu’addi berarti orang yang mencetuskan atau meriwayatkan hadits kepada orang
lain.
2.
Al – Ada’
Al – ada’ merupakan bentuk isim
mashdar dari lafazh "أَدَى – يُؤْدِي- أَدَاءً"
yang berarti
proses menyampaikan atau meriwayatkan sebuah hadits kepada orang lain.
3.
Matan
Kata matan
menurut bahasa berarti unggung jalan, atau tanah yang keras dan tinggi (مَا صَلُبَ
وَ ارْتِفَاعِ مِنَ الْعَرْضِ). Secara terminologis, matan berarti
materi yang berupa sabda, perbuatan, atau taqrir nabi yang terletak setelah
sanad yang terakhir.[3]
Namun ketika didasarkan kembali pada paparan hadits, maka pengertian matan
mengalami sedikit modifikasi. Matan tidak hanya terdiri dari pembicaraan yang
titik terakhir sanad, matan bukan hanya inti pesan nabi saw, jika hadits
bersifat qouliyyah. Matan mencakup sumber hadits (Mashdar Al – Hadits) dan inti
pesannya (Tharf Al – Hadits). Disinilah
terkadang terjadi kesalah kaprahan penyebutan hadits, Padahal yang dimaksud
adalah inti pesan hadits.[4]
4.
Shigah Ar – Riwayah
Sighah
Ar – Riwayah atau metode periwayatan hadits adalah jalan untuk menerima hadits
atau mendapatkan dari guru. Adapun yang dimaksud dengan Shighah Al – Ada’
(bentuk penyampaian hadits) adalah lafaz – lafaz yang digunakan oleh ahli
hadits dalam meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid – muridnya,
contoh : “sami’tu...” (aku telah mendengar) atau “haddatsani...” (telah
bercerita kepadaku).[5]
5. Mutahammil
Mutahammil
adalah fi’il dari lafaz “tahammala - yatahammalu” yang berarti orang
yang mendengar dan meriwayatkan hadits.
6. Tahammul
Tahammul adalah isim mashdar dari lafazh
"تَحَمَّلَ
– يَتَحَمَّلُ- تَحَمُّلاً" yang berarti proses mendengar dan
menyampaikan hadits kepada orang lain.
d.
Metode Transmisi Hadits
Para ulama mengidentifikasi cara
pengambilan dan penerimaan hadits dari para Rawi menjadi 8 macam. Mereka
mengupas dan menjelaskan hukum – hukumnya secara panjang lebar yang garis
besarnya sebagai berikut :
1.
Al – Sima’ ( mendengarkan hadits
dari guru )
Al – sima’ adalah suatu cara yang
ditempuh oleh para muhaditsin periode pertama untuk mendapatkan hadits dari
Nabi Muhammad SAW. Kemudian mereka meriwayatkannya kepada generasi mereka
dengan cara yang sama. Maka tidak heran apabila cara ini dinilai sebagai cara
penerimaan hadits yang paling tinggi tingkatannya. Metode ini lebih dominan
dengan mendengarkan bacaan guru baik dibacakan dengan selintas maupun dengan
cara didektekan. Dan baik dibacakan dari
hafalan sang guru maupun dengan melihat kitabnya. Ungkapan yang
menggunakan metode al – sima’ antara lain :
أخبرنا، أخبرنى : seseorang telah mengabarkan kepadaku, atau kepada kami.
احدثنى، حدثنا
: seseorang telah bercerita kepadaku
atau kepada kami.
سمعنا ، سمعت : saya telah mendengar kami telah mendengar.
2.
Al – ‘Ardh ( membaca )
Para Muhadditsin menempuh cara ini
setelah pembukuan hadits banyak dilakukan dan tersebar diberbagai tempat. Makna
Al – ‘Ardh menurut mereka adalah membaca hadits di hadapan guru berdasarkan
hafalan maupun dengan melihat kitab. Terdapat perselisihan pada tingkatan mana
yang lebih tinggi diantara Al – Sima’ dan Al – ‘Ardh. Tetapi Malik memberi
pernyataan bahwa apabila pencari hadits belum mencapai tingkatan ini, maka
pembacaan hadits di hadapan guru itu tidak mengungguli Al – Isma’.[6]
3.
Al – ijazah ( ijazah )
Al – ijazah adalah izin guru hadits
kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab yang diriwayatkan darinya
padahal murid itu tidak mendengar hadits tersebut atau tidak membaca kitab
tersebut dihadapannya. Dan metode ijazah ini memiliki tujuh ragam bentu, yaitu
:
Ø Guru mengijazahkan
kepada seseorang atau beberapa orang tertentu dengan sebuah kitab yang
disebutkan namanya.
Ø Ijazah umum,
seperti guru mengatakan “aku memberi ijazah kepada seluruh muslimin atau semua
orang yang ada”.
Ø Ijazah kepada
orang yang majhul atau dengan hadits majhu. Cara ini sangat tidak boleh.
Ø Memberi ijazah
dengan hadits yang belum pernah didengar. Seperti seorang guru berkata “ aku
ijazahkan kepadamu hadits yang akan aku
dengar”. Ijazah ini batal menurut para ulama jumhur.
Ø Ijazah secara
majaz, seperti seorang guru berkata “aku mengijazahkan ijazahku kepadamu”.
4.
Munawalah (memberi)
Munawalah merupakan proses seorang
Guru memberikan sebuah hadits, naskah kitab asli atau salinannya pada seorang
murid, terhadap metode munawalah, sebagian ahli ilmu memperkenankan sedangkan
ulama lainnya tidak memperkenankan metode ini sebagai metode periwayatan
hadits. Perbedaan pendapat ini menjadikan munawalah dibagi menjadi dua jenis,
yakni munawalah yang dibarengi ijazah, dan munawalah yang tidak dibarengi
ijazah. Jenis munawalah yang dibarengi ijazah dipandang sederajat dengan metode
Al-Sima’ oleh jumhur ulama ahli hadits, walau tidak sama dengan Al-Sima dan Al-Qiraat
Ala Al Syaikh. Dan jenis munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah adalah
ketika naskah salinannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa itu
adalah apa yang didengar oleh si fulan, tanpa diikuti dengan perintah untuk
meriwayatkannya. adapun ungkapan yang digunakan untuk metode ini adalah :
فلان عن
روايتى او سماعى هذا فآروه ini adalah
hasil pendengaranku atau hasil periwayatanku dari seseorang, maka
riwayatkanlah.[7]
5.
Al-Mukatabah (menulis)
Al-Mukatabah adalah seorang guru
yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits
kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya. Metode Mukatabah ini
juga ada yang dibarengi ijazah dan ada yang tidak dibarengi ijazah. Untuk
mukatabah yang dibarengi ijazah dihukumi sah dan mempunyai martabat kuat,
sedangkan mukatabah yang tidak dibarengi ijazah menimbulkan perbedaan pendapat
tentang sah dan tidaknya. adapun ungkapan untuk metode ini yaitu :
كتابة فلان
حدثنى seseorang telah bercerita padaku
dengan surat menyurat.
كتابة فلان
أخبرنى seseorang telah mengkhabarkan padaku.
6.
I’ilam al-Syaikh ( pemberitahuan )
I’ilam Al-Syaikh adalah
pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya itu adalah
riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan
(menyuruh) agar si murid tersebut meriwayatkannya. Metode ini tidak di
perkenankan oleh para ulama ahli hadits dalam meriwayatkan hadits, karena ada
kemungkinan bahwa guru telah mengetahui bahwa hadits tersebut mengandung cacat.
Adapun ungkapan hadits yang diterima dengan metode Il’amu Al – Syaikh yaitu :
قال فلان أعلمنى seseorang telah memberitahukan
padaku, ujarnya,
حدثنا ... telah berkata kepadaku....
7.
Al-Wasiyah (wasiat)
Al-Wasiyah adalah pesan seseorang di
kala hendak meninggal dunia atau bepergian, dengan sebuah kitab supaya
diriwayatkan. Dalam metode ini ada yang memperbolehkan mengamalkan hadits yang
diriwayatkan dengan metode ini dan ada juga yang tidak memperkenankan dengan
metode ini. Adapun ungkapan yang digunakan untuk metode al – wasiyah yaitu :
آره إلى
حدثنا فيها قال بكتاب فلان الى آوصى seseorang tem-lah
berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab “telah
bercerita padamu si Fulan...”.
8.
Al-Wijadah ( Penentuan )
Al-Wijadah adalah memperoleh tulisan
hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan metote sama’,
qira’ah, maupun metode lainnya. Dapat dikatakan proses penerimaan dan
penyampaian hadits cukup rumit, sehingga untul menilai sebuah hadits diperlukan
ilmu yang cukup dan sikap bijak. ungkapan yang digunakan pada metode ini yaitu
:
فلان بخط
قرأت saya telah membaca tulisan seseorang.
فلانبخط kudapati tulisan seseorang.[8]
III.
PENUTUP
Tahammul al – hadits menurut bahasa
adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al – hadits
menurut istilah ulama’ ahli hadits, sebagaim ahli ilmu cenderung memperbolehkan
ana tertulis dalam kitab Taisir Musthalah Al – Hadits adalah : tahammul artinya
menerima hadits dan mengambilnya dari para syaikh atau guru. Mayoritas ahli
ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak
kecil, yakni anak yang belum mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak
memperbolehkannya. Syarat Mutahammil yaitu :
·
Tamyiz
Sedangkan
syarat – syarat Mu’addi yaitu :
1.
Islam
2.
Baligh
3.
Adil
4.
Dlabith
Komponen
penting dalam hadits :
1.
Mu’addi
2.
Al – Ada’
3.
Matan
4.
Shighah Ar – Riwayah
5.
Mutahammil
6.
Tahammul
Metode – metode yang digunakan dalam Tahammul Al –
Hadits :
1.
Al – Sima’ ( السماع )
2.
Al – ‘Ardl ( العرض
)
3.
Al – Ijazah ( الإجازة
)
4.
Al – Munawalah ( المناولة
)
5.
Al – Mukatabah ( المكاتبة
)
6.
Al – I’lam ( الإعلام )
7.
Al – Wasiyah ( الوصية )
8.
Al – Wijadah ( الوجادة )
Daftar
Pustaka
Ash – Shiddieeqy, Hasbi, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta
: PT. Karya Unipress,1958.
Al – Thahhan, Mahmud, Al – Taisir Musthalah Al – Hadits, Cet.
VII; Riyadh : Maktabah Ma’arif, 1985.
Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, Semarang : UINPress, 2015.
Nuruddin, ‘Ulum Al – Hadits, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 1985.
‘Ajjaj Al – Khatib, Muhammad, Ushul Al – Hadits ‘Ulimuh
Musthalahuh, Beirut : Dar Al – Fikr, 1981.
Kitab Syaikh Manna al-Qaththan
berjudul “Mabahats fi Ulumul Hadits”.
[2] Dr. T. M.
Hasbi Ash – Shiddieeqy, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits,(Jakarta : PT.
Karya Unipress,1958), hal. 38 – 40.
[3]
Mahmud Al –
Thahhan, Al – Taisir Musthalah Al – Hadits, (Cet. VII; Riyadh : Maktabah
Ma’arif, 1985), hal. 31.
[6] Dr. Nuruddin, ‘Ulum
Al – Hadits, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1985), hal. 209-211.
No comments:
Post a Comment