Saturday, 16 July 2016

contoh makalah PROSES AL-ADA’ WA TAHAMMUL AL-HADITS

PROSES AL-ADA’ WA TAHAMMUL AL-HADITS
Makalah disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Dr. Ikhrom, M. Ag.
Disusun Oleh :
1.      Barokah Nur Azizah         (1503036021) MPI_2A
2.      Elya Isfiya                         (1503026118) PBA_2C         
3.      Amanatul A. M                 (1503036108) MPI_2C
4.      Khoiron Hilmy                  (1503036094) MPI_2C
Kelas MPI_2C

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM WALISONGO
SEMARANG
2016
  1. PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Ilmu hadits adalah suatu ilmu tentang sabda, perbuatan, ketepatan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniyah Rasulullah SAW beserta sanad – sanadnya dan ilmu pengetahuan untuk membedakan kesahihan, kehasanan dan kedha’ifannya daripada lainnya, baik secara matan maupun sanadnya. Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui  tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah – kaidah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat – syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama’ jumhur. Adapun salah satu ilmu yang sangat berpengaruh dalam pemeliharaan, penejlasan, pemahaman, dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadits.
B.     RUMUSAN MASALAH
a.       Apa pengertian proses Ada’ Wa Al – Tahammul Al – Hadits ?
b.      Apa syarat – syarat Mutahammil Dan Mu’addi ?
c.       Apa saja komponen – komponen penting dalam proses Ada’ Wa Al – Tahammul  Al – Hadits ?
d.      Apa saja 8 Metode Transmisi Hadits ?





  1. PEMBAHASAN
a.       Pengertian Proses Al – Ada’ wa Tahammul Al – Hadits
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahammala  (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa  adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:[1]
                                                                   التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.
      Sedangkan Ada’ secara bahasa berarti melaksanakan sesuatu pada waktunya. Secara terminologi ada’ berarti meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menggunakan kata tertentu. Ada’ juga bisa disebut bagaimana ungkapan atau bentuk kata yang digunakan dalam menyampaikan hadits.
Proses Ada’ Wa Tahammul Hadits adalah mengkaji tentang seseorang untuk diperkenankan menerima dan menyimpan sebuah hadits, dan kepantasan seseorang untuk menyampaikan (meriwayatkan) sebuah hadits.
b.      Syarat – syarat Mutahammil dan Mua’addi
1.      Mutahammil
Adapun syarat bagi seseorang yang dapat mendengar dan meriwayatkan hadits hanya satu yaitu Tamyiz.
Tamyiz
Tamyiz sendiri mempunyai arti seseorang yang sudah dapat membedakan sesuatu yang benar dan salah. Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadist pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.  Kenapa hanya tamyiz yang menjadi persyaratan dari Mutahammil, karena semua orang boleh mendengarkan tetapi jika orang kafir yang mendengarkan maka ia tidak boleh meriwayatkan. Salah satu perawi hadits yang mempunyai riwayat hidup menjadi kafir sebelum masuk islam dan berhasil meriwayatkan hadits, yaitu sahabat Abu Hurairah. Saat beliau mendengarkan dan menghafalkan hadits – hadits nabi dalam keadaan kafir dan dia masuk islam dan meriwayatkan hadits yang sudah beliau hafalkan sejak dini.
2.      Mu’addi
Semua ulama Hadits, Ushul dan fiqih mensyaratkan untuk orang yang dapat kita berhujjah dengan riwayatnya, baik dia lelaki, ataupun perempuan, yaitu :

a.       Beragama islam
Karena hadits tidak dapat diriwayatkan oleh orang kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati – hati menerima riwayat orang fasiq sebagai yang diterangkan pada surat al hujurat ayat 6.
يَآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إنْ جَآكُمْ فَاسِقٌ  بِنَبَإنْ فَتَبَيَّنُوْآ أنْ تُصِيْبُوْآ قَوْمًا بِجَهَلَةٍ فَتُصْبِحُوْآ عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ 
Artinya : “ wahai orang – orang yang beriman ! jika seseorang yang Fasiq datang kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesal perbuatanmu itu.” ( QS. Al – Hujarat : 6)

b.      Sudah sampai umur
Hadits tidak dapat diterima oleh anak – anak yang belum sampai umur dengan berakal.
c.       Adil
Yaitu sifat yang tetap terhunjam pada seseorang yang mendorong yang bersifat dengan keadilan itu, berlaku taqwa dan memelihara muru’ah. Karenanya timbullah kepercayaan masyarakat kepadanya.
d.      Kedlabithan
Yaitu si perawi itu sadar benar apa yang didengarnya dan dipahaminya dengan baik, serta dihafalnya sejak dari dia menerima sampai kepada dia menceritakan kepada orang lain. Untuk mengetahui kedlabithannya seseorang ialah mencek riwayatnya dengan riwayat orang lain. Jika bersesuaian dengan riwayat orang lain walaupun pada ma’na, maka diterimalah riwayatnya. Tetapi jika ada banyak perbedaan dengan riwayat orang lain, tentulah riwayatnya tidak dapat diterima.[2]
c.          Komponen – Komponen Penting dalam Proses Tahammul Wa Al – Ada’
Dalam sebuah hadits terdapat komponen – komponen yang penting, yaitu :
1.        Mu’addi
Mu’addi merupakan bentuk isim fa’il dari dari lafazh أَدَى – يُؤْدِى yang berarti mencetuskan. Dan Mu’addi berarti orang yang mencetuskan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.
2.        Al – Ada’
Al – ada’ merupakan bentuk isim mashdar dari lafazh "أَدَى – يُؤْدِي- أَدَاءً" yang berarti proses menyampaikan atau meriwayatkan sebuah hadits kepada orang lain.
3.        Matan
Kata matan menurut bahasa berarti unggung jalan, atau tanah yang keras dan tinggi (مَا صَلُبَ وَ ارْتِفَاعِ مِنَ الْعَرْضِ). Secara terminologis, matan berarti materi yang berupa sabda, perbuatan, atau taqrir nabi yang terletak setelah sanad yang terakhir.[3] Namun ketika didasarkan kembali pada paparan hadits, maka pengertian matan mengalami sedikit modifikasi. Matan tidak hanya terdiri dari pembicaraan yang titik terakhir sanad, matan bukan hanya inti pesan nabi saw, jika hadits bersifat qouliyyah. Matan mencakup sumber hadits (Mashdar Al – Hadits) dan inti pesannya (Tharf  Al – Hadits). Disinilah terkadang terjadi kesalah kaprahan penyebutan hadits, Padahal yang dimaksud adalah inti pesan hadits.[4]



4.        Shigah Ar – Riwayah
            Sighah Ar – Riwayah atau metode periwayatan hadits adalah jalan untuk menerima hadits atau mendapatkan dari guru. Adapun yang dimaksud dengan Shighah Al – Ada’ (bentuk penyampaian hadits) adalah lafaz – lafaz yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid – muridnya, contoh : “sami’tu...” (aku telah mendengar) atau “haddatsani...” (telah bercerita kepadaku).[5]
5.   Mutahammil
            Mutahammil adalah fi’il dari lafaz “tahammala - yatahammalu” yang berarti orang yang mendengar dan meriwayatkan hadits.
6.   Tahammul
            Tahammul adalah isim mashdar dari lafazh  "تَحَمَّلَ – يَتَحَمَّلُ- تَحَمُّلاً" yang berarti proses mendengar dan menyampaikan hadits kepada orang lain.

d.          Metode Transmisi Hadits
Para ulama mengidentifikasi cara pengambilan dan penerimaan hadits dari para Rawi menjadi 8 macam. Mereka mengupas dan menjelaskan hukum – hukumnya secara panjang lebar yang garis besarnya sebagai berikut :

1.      Al – Sima’ ( mendengarkan hadits dari guru )
Al – sima’ adalah suatu cara yang ditempuh oleh para muhaditsin periode pertama untuk mendapatkan hadits dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian mereka meriwayatkannya kepada generasi mereka dengan cara yang sama. Maka tidak heran apabila cara ini dinilai sebagai cara penerimaan hadits yang paling tinggi tingkatannya. Metode ini lebih dominan dengan mendengarkan bacaan guru baik dibacakan dengan selintas maupun dengan cara didektekan. Dan baik dibacakan dari  hafalan sang guru maupun dengan melihat kitabnya. Ungkapan yang menggunakan metode al – sima’ antara lain :

أخبرنا، أخبرنى  : seseorang telah mengabarkan kepadaku, atau kepada kami.
احدثنى، حدثنا : seseorang telah bercerita kepadaku atau kepada kami.
سمعنا ، سمعت  : saya telah mendengar kami telah mendengar.
2.      Al – ‘Ardh ( membaca )
Para Muhadditsin menempuh cara ini setelah pembukuan hadits banyak dilakukan dan tersebar diberbagai tempat. Makna Al – ‘Ardh menurut mereka adalah membaca hadits di hadapan guru berdasarkan hafalan maupun dengan melihat kitab. Terdapat perselisihan pada tingkatan mana yang lebih tinggi diantara Al – Sima’ dan Al – ‘Ardh. Tetapi Malik memberi pernyataan bahwa apabila pencari hadits belum mencapai tingkatan ini, maka pembacaan hadits di hadapan guru itu tidak mengungguli Al – Isma’.[6]
3.      Al – ijazah ( ijazah )
Al – ijazah adalah izin guru hadits kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab yang diriwayatkan darinya padahal murid itu tidak mendengar hadits tersebut atau tidak membaca kitab tersebut dihadapannya. Dan metode ijazah ini memiliki tujuh ragam bentu, yaitu :
Ø  Guru mengijazahkan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu dengan sebuah kitab yang disebutkan namanya.
Ø  Ijazah umum, seperti guru mengatakan “aku memberi ijazah kepada seluruh muslimin atau semua orang yang ada”.
Ø  Ijazah kepada orang yang majhul atau dengan hadits majhu. Cara ini sangat tidak boleh.
Ø  Memberi ijazah dengan hadits yang belum pernah didengar. Seperti seorang guru berkata “ aku ijazahkan kepadamu hadits  yang akan aku dengar”. Ijazah ini batal menurut para ulama jumhur.
Ø  Ijazah secara majaz, seperti seorang guru berkata “aku mengijazahkan ijazahku kepadamu”.
4.      Munawalah (memberi)
Munawalah merupakan proses seorang Guru memberikan sebuah hadits, naskah kitab asli atau salinannya pada seorang murid, terhadap metode munawalah, sebagian ahli ilmu memperkenankan sedangkan ulama lainnya tidak memperkenankan metode ini sebagai metode periwayatan hadits. Perbedaan pendapat ini menjadikan munawalah dibagi menjadi dua jenis, yakni munawalah yang dibarengi ijazah, dan munawalah yang tidak dibarengi ijazah. Jenis munawalah yang dibarengi ijazah dipandang sederajat dengan metode Al-Sima’ oleh jumhur ulama ahli hadits, walau tidak sama dengan Al-Sima dan Al-Qiraat Ala Al Syaikh. Dan jenis munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah adalah ketika naskah salinannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengar oleh si fulan, tanpa diikuti dengan perintah untuk meriwayatkannya. adapun ungkapan yang digunakan untuk metode ini adalah :
فلان عن روايتى او سماعى هذا فآروه  ini adalah hasil pendengaranku atau hasil periwayatanku dari seseorang, maka riwayatkanlah.[7]
5.      Al-Mukatabah (menulis)
Al-Mukatabah adalah seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya. Metode Mukatabah ini juga ada yang dibarengi ijazah dan ada yang tidak dibarengi ijazah. Untuk mukatabah yang dibarengi ijazah dihukumi sah dan mempunyai martabat kuat, sedangkan mukatabah yang tidak dibarengi ijazah menimbulkan perbedaan pendapat tentang sah dan tidaknya. adapun ungkapan untuk metode ini yaitu :
            كتابة فلان حدثنى seseorang telah bercerita padaku dengan surat menyurat.
          كتابة فلان أخبرنى seseorang telah mengkhabarkan padaku.

6.      I’ilam al-Syaikh ( pemberitahuan )
I’ilam Al-Syaikh adalah pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya itu adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid tersebut meriwayatkannya. Metode ini tidak di perkenankan oleh para ulama ahli hadits dalam meriwayatkan hadits, karena ada kemungkinan bahwa guru telah mengetahui bahwa hadits tersebut mengandung cacat. Adapun ungkapan hadits yang diterima dengan metode Il’amu Al – Syaikh yaitu :
قال فلان أعلمنى   seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya,
حدثنا            ... telah berkata kepadaku....


7.      Al-Wasiyah (wasiat)
Al-Wasiyah adalah pesan seseorang di kala hendak meninggal dunia atau bepergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. Dalam metode ini ada yang memperbolehkan mengamalkan hadits yang diriwayatkan dengan metode ini dan ada juga yang tidak memperkenankan dengan metode ini. Adapun ungkapan yang digunakan untuk metode al – wasiyah yaitu :
            آره إلى حدثنا فيها قال بكتاب فلان الى آوصى seseorang tem-lah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab “telah bercerita padamu si Fulan...”.

8.      Al-Wijadah ( Penentuan )
Al-Wijadah adalah memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan metote sama’, qira’ah, maupun metode lainnya. Dapat dikatakan proses penerimaan dan penyampaian hadits cukup rumit, sehingga untul menilai sebuah hadits diperlukan ilmu yang cukup dan sikap bijak. ungkapan yang digunakan pada metode ini yaitu :
            فلان بخط قرأت  saya telah membaca tulisan seseorang.
          فلانبخط   kudapati tulisan seseorang.[8]

III. PENUTUP
Tahammul al – hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al – hadits menurut istilah ulama’ ahli hadits, sebagaim ahli ilmu cenderung memperbolehkan ana tertulis dalam kitab Taisir Musthalah Al – Hadits adalah : tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syaikh atau guru. Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Syarat Mutahammil yaitu :
·     Tamyiz



Sedangkan syarat – syarat Mu’addi yaitu :
1.      Islam
2.      Baligh
3.      Adil
4.      Dlabith
Komponen penting dalam hadits :
1.    Mu’addi
2.    Al – Ada’
3.    Matan
4.    Shighah Ar – Riwayah
5.    Mutahammil
6.    Tahammul
Metode – metode yang digunakan dalam Tahammul Al – Hadits :
1.    Al – Sima’            ( السماع  )
2.    Al – ‘Ardl            ( العرض )
3.    Al – Ijazah           ( الإجازة )
4.    Al – Munawalah  ( المناولة )
5.    Al – Mukatabah   ( المكاتبة )
6.    Al – I’lam             ( الإعلام )
7.    Al – Wasiyah       ( الوصية )
8.    Al – Wijadah        ( الوجادة )












Daftar Pustaka

Ash – Shiddieeqy, Hasbi, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : PT. Karya Unipress,1958.
Al – Thahhan, Mahmud, Al – Taisir Musthalah Al – Hadits, Cet. VII; Riyadh : Maktabah Ma’arif, 1985.
Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, Semarang : UINPress, 2015.
Nuruddin, ‘Ulum Al – Hadits, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1985.
‘Ajjaj Al – Khatib, Muhammad, Ushul Al – Hadits ‘Ulimuh Musthalahuh, Beirut : Dar Al – Fikr, 1981.
Kitab Syaikh Manna al-Qaththan berjudul “Mabahats fi Ulumul Hadits”.




[1] Mahmud Thohan, Terjemah Mushtholah Hadits, (Songgopuro: Haramain,1985), hlm. 156.
[2] Dr. T. M. Hasbi Ash – Shiddieeqy, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits,(Jakarta : PT. Karya Unipress,1958), hal. 38 – 40.
[3] Mahmud Al – Thahhan, Al – Taisir Musthalah Al – Hadits, (Cet. VII; Riyadh : Maktabah Ma’arif, 1985), hal. 31.
[4] Dr. Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, (Semarang : UINPress, 2015), hal.81-83.
[5] Kitab Syaikh Manna al-Qaththan berjudul “Mabahats fi Ulumul Hadits”, hal. 165 – 168.
[6] Dr. Nuruddin, ‘Ulum Al – Hadits, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1985), hal. 209-211.
[7] Dr. Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, (Semarang : UINPress, 2015), hal. 41-42.
[8] Dr. Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, (Semarang : UINPress, 2015), hal. 44-45.
Makalah disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pengampu : Dr. Ikhrom, M. Ag.
Disusun Oleh :
1.      Barokah Nur Azizah         (1503036021) MPI_2A
2.      Elya Isfiya                         (1503026118) PBA_2C         
3.      Amanatul A. M                 (1503036108) MPI_2C
4.      Khoiron Hilmy                  (1503036094) MPI_2C
Kelas MPI_2C

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS NEGERI ISLAM WALISONGO
SEMARANG
2016
  1. PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Ilmu hadits adalah suatu ilmu tentang sabda, perbuatan, ketepatan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniyah Rasulullah SAW beserta sanad – sanadnya dan ilmu pengetahuan untuk membedakan kesahihan, kehasanan dan kedha’ifannya daripada lainnya, baik secara matan maupun sanadnya. Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui  tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan kaidah – kaidah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat – syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama’ jumhur. Adapun salah satu ilmu yang sangat berpengaruh dalam pemeliharaan, penejlasan, pemahaman, dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah tahammul wa ‘ada’ul hadits.
B.     RUMUSAN MASALAH
a.       Apa pengertian proses Ada’ Wa Al – Tahammul Al – Hadits ?
b.      Apa syarat – syarat Mutahammil Dan Mu’addi ?
c.       Apa saja komponen – komponen penting dalam proses Ada’ Wa Al – Tahammul  Al – Hadits ?
d.      Apa saja 8 Metode Transmisi Hadits ?





  1. PEMBAHASAN
a.       Pengertian Proses Al – Ada’ wa Tahammul Al – Hadits
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madli tahammala  (تَحَمَّلَ-يَتَحَمَّلُ-تَحَمُلا) yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima. Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa  adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits adalah:[1]
                                                                   التحمل: معناه تلقى الحديث واخذه عن الشيوخ
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.
      Sedangkan Ada’ secara bahasa berarti melaksanakan sesuatu pada waktunya. Secara terminologi ada’ berarti meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menggunakan kata tertentu. Ada’ juga bisa disebut bagaimana ungkapan atau bentuk kata yang digunakan dalam menyampaikan hadits.
Proses Ada’ Wa Tahammul Hadits adalah mengkaji tentang seseorang untuk diperkenankan menerima dan menyimpan sebuah hadits, dan kepantasan seseorang untuk menyampaikan (meriwayatkan) sebuah hadits.
b.      Syarat – syarat Mutahammil dan Mua’addi
1.      Mutahammil
Adapun syarat bagi seseorang yang dapat mendengar dan meriwayatkan hadits hanya satu yaitu Tamyiz.
Tamyiz
Tamyiz sendiri mempunyai arti seseorang yang sudah dapat membedakan sesuatu yang benar dan salah. Ulama’ hadist memiliki beberapa rumusan dalam kategori usia tamyiz. Untuk batasan minimal seseorang bisa dikatakan tamyis dalam hal ini ulama hadist pun masih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan harus berusia 5 tahun atau 10 tahun, atau berusia 20 tahun, bahkan ada ada yang mengatakan minimal berusia 30 tahun.  Kenapa hanya tamyiz yang menjadi persyaratan dari Mutahammil, karena semua orang boleh mendengarkan tetapi jika orang kafir yang mendengarkan maka ia tidak boleh meriwayatkan. Salah satu perawi hadits yang mempunyai riwayat hidup menjadi kafir sebelum masuk islam dan berhasil meriwayatkan hadits, yaitu sahabat Abu Hurairah. Saat beliau mendengarkan dan menghafalkan hadits – hadits nabi dalam keadaan kafir dan dia masuk islam dan meriwayatkan hadits yang sudah beliau hafalkan sejak dini.
2.      Mu’addi
Semua ulama Hadits, Ushul dan fiqih mensyaratkan untuk orang yang dapat kita berhujjah dengan riwayatnya, baik dia lelaki, ataupun perempuan, yaitu :

a.       Beragama islam
Karena hadits tidak dapat diriwayatkan oleh orang kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah menyuruh kita berhati – hati menerima riwayat orang fasiq sebagai yang diterangkan pada surat al hujurat ayat 6.
يَآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إنْ جَآكُمْ فَاسِقٌ  بِنَبَإنْ فَتَبَيَّنُوْآ أنْ تُصِيْبُوْآ قَوْمًا بِجَهَلَةٍ فَتُصْبِحُوْآ عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ 
Artinya : “ wahai orang – orang yang beriman ! jika seseorang yang Fasiq datang kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesal perbuatanmu itu.” ( QS. Al – Hujarat : 6)

b.      Sudah sampai umur
Hadits tidak dapat diterima oleh anak – anak yang belum sampai umur dengan berakal.
c.       Adil
Yaitu sifat yang tetap terhunjam pada seseorang yang mendorong yang bersifat dengan keadilan itu, berlaku taqwa dan memelihara muru’ah. Karenanya timbullah kepercayaan masyarakat kepadanya.
d.      Kedlabithan
Yaitu si perawi itu sadar benar apa yang didengarnya dan dipahaminya dengan baik, serta dihafalnya sejak dari dia menerima sampai kepada dia menceritakan kepada orang lain. Untuk mengetahui kedlabithannya seseorang ialah mencek riwayatnya dengan riwayat orang lain. Jika bersesuaian dengan riwayat orang lain walaupun pada ma’na, maka diterimalah riwayatnya. Tetapi jika ada banyak perbedaan dengan riwayat orang lain, tentulah riwayatnya tidak dapat diterima.[2]
c.          Komponen – Komponen Penting dalam Proses Tahammul Wa Al – Ada’
Dalam sebuah hadits terdapat komponen – komponen yang penting, yaitu :
1.        Mu’addi
Mu’addi merupakan bentuk isim fa’il dari dari lafazh أَدَى – يُؤْدِى yang berarti mencetuskan. Dan Mu’addi berarti orang yang mencetuskan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain.
2.        Al – Ada’
Al – ada’ merupakan bentuk isim mashdar dari lafazh "أَدَى – يُؤْدِي- أَدَاءً" yang berarti proses menyampaikan atau meriwayatkan sebuah hadits kepada orang lain.
3.        Matan
Kata matan menurut bahasa berarti unggung jalan, atau tanah yang keras dan tinggi (مَا صَلُبَ وَ ارْتِفَاعِ مِنَ الْعَرْضِ). Secara terminologis, matan berarti materi yang berupa sabda, perbuatan, atau taqrir nabi yang terletak setelah sanad yang terakhir.[3] Namun ketika didasarkan kembali pada paparan hadits, maka pengertian matan mengalami sedikit modifikasi. Matan tidak hanya terdiri dari pembicaraan yang titik terakhir sanad, matan bukan hanya inti pesan nabi saw, jika hadits bersifat qouliyyah. Matan mencakup sumber hadits (Mashdar Al – Hadits) dan inti pesannya (Tharf  Al – Hadits). Disinilah terkadang terjadi kesalah kaprahan penyebutan hadits, Padahal yang dimaksud adalah inti pesan hadits.[4]



4.        Shigah Ar – Riwayah
            Sighah Ar – Riwayah atau metode periwayatan hadits adalah jalan untuk menerima hadits atau mendapatkan dari guru. Adapun yang dimaksud dengan Shighah Al – Ada’ (bentuk penyampaian hadits) adalah lafaz – lafaz yang digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid – muridnya, contoh : “sami’tu...” (aku telah mendengar) atau “haddatsani...” (telah bercerita kepadaku).[5]
5.   Mutahammil
            Mutahammil adalah fi’il dari lafaz “tahammala - yatahammalu” yang berarti orang yang mendengar dan meriwayatkan hadits.
6.   Tahammul
            Tahammul adalah isim mashdar dari lafazh  "تَحَمَّلَ – يَتَحَمَّلُ- تَحَمُّلاً" yang berarti proses mendengar dan menyampaikan hadits kepada orang lain.

d.          Metode Transmisi Hadits
Para ulama mengidentifikasi cara pengambilan dan penerimaan hadits dari para Rawi menjadi 8 macam. Mereka mengupas dan menjelaskan hukum – hukumnya secara panjang lebar yang garis besarnya sebagai berikut :

1.      Al – Sima’ ( mendengarkan hadits dari guru )
Al – sima’ adalah suatu cara yang ditempuh oleh para muhaditsin periode pertama untuk mendapatkan hadits dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian mereka meriwayatkannya kepada generasi mereka dengan cara yang sama. Maka tidak heran apabila cara ini dinilai sebagai cara penerimaan hadits yang paling tinggi tingkatannya. Metode ini lebih dominan dengan mendengarkan bacaan guru baik dibacakan dengan selintas maupun dengan cara didektekan. Dan baik dibacakan dari  hafalan sang guru maupun dengan melihat kitabnya. Ungkapan yang menggunakan metode al – sima’ antara lain :

أخبرنا، أخبرنى  : seseorang telah mengabarkan kepadaku, atau kepada kami.
احدثنى، حدثنا : seseorang telah bercerita kepadaku atau kepada kami.
سمعنا ، سمعت  : saya telah mendengar kami telah mendengar.
2.      Al – ‘Ardh ( membaca )
Para Muhadditsin menempuh cara ini setelah pembukuan hadits banyak dilakukan dan tersebar diberbagai tempat. Makna Al – ‘Ardh menurut mereka adalah membaca hadits di hadapan guru berdasarkan hafalan maupun dengan melihat kitab. Terdapat perselisihan pada tingkatan mana yang lebih tinggi diantara Al – Sima’ dan Al – ‘Ardh. Tetapi Malik memberi pernyataan bahwa apabila pencari hadits belum mencapai tingkatan ini, maka pembacaan hadits di hadapan guru itu tidak mengungguli Al – Isma’.[6]
3.      Al – ijazah ( ijazah )
Al – ijazah adalah izin guru hadits kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab yang diriwayatkan darinya padahal murid itu tidak mendengar hadits tersebut atau tidak membaca kitab tersebut dihadapannya. Dan metode ijazah ini memiliki tujuh ragam bentu, yaitu :
Ø  Guru mengijazahkan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu dengan sebuah kitab yang disebutkan namanya.
Ø  Ijazah umum, seperti guru mengatakan “aku memberi ijazah kepada seluruh muslimin atau semua orang yang ada”.
Ø  Ijazah kepada orang yang majhul atau dengan hadits majhu. Cara ini sangat tidak boleh.
Ø  Memberi ijazah dengan hadits yang belum pernah didengar. Seperti seorang guru berkata “ aku ijazahkan kepadamu hadits  yang akan aku dengar”. Ijazah ini batal menurut para ulama jumhur.
Ø  Ijazah secara majaz, seperti seorang guru berkata “aku mengijazahkan ijazahku kepadamu”.
4.      Munawalah (memberi)
Munawalah merupakan proses seorang Guru memberikan sebuah hadits, naskah kitab asli atau salinannya pada seorang murid, terhadap metode munawalah, sebagian ahli ilmu memperkenankan sedangkan ulama lainnya tidak memperkenankan metode ini sebagai metode periwayatan hadits. Perbedaan pendapat ini menjadikan munawalah dibagi menjadi dua jenis, yakni munawalah yang dibarengi ijazah, dan munawalah yang tidak dibarengi ijazah. Jenis munawalah yang dibarengi ijazah dipandang sederajat dengan metode Al-Sima’ oleh jumhur ulama ahli hadits, walau tidak sama dengan Al-Sima dan Al-Qiraat Ala Al Syaikh. Dan jenis munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah adalah ketika naskah salinannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa itu adalah apa yang didengar oleh si fulan, tanpa diikuti dengan perintah untuk meriwayatkannya. adapun ungkapan yang digunakan untuk metode ini adalah :
فلان عن روايتى او سماعى هذا فآروه  ini adalah hasil pendengaranku atau hasil periwayatanku dari seseorang, maka riwayatkanlah.[7]
5.      Al-Mukatabah (menulis)
Al-Mukatabah adalah seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya. Metode Mukatabah ini juga ada yang dibarengi ijazah dan ada yang tidak dibarengi ijazah. Untuk mukatabah yang dibarengi ijazah dihukumi sah dan mempunyai martabat kuat, sedangkan mukatabah yang tidak dibarengi ijazah menimbulkan perbedaan pendapat tentang sah dan tidaknya. adapun ungkapan untuk metode ini yaitu :
            كتابة فلان حدثنى seseorang telah bercerita padaku dengan surat menyurat.
          كتابة فلان أخبرنى seseorang telah mengkhabarkan padaku.

6.      I’ilam al-Syaikh ( pemberitahuan )
I’ilam Al-Syaikh adalah pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya itu adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid tersebut meriwayatkannya. Metode ini tidak di perkenankan oleh para ulama ahli hadits dalam meriwayatkan hadits, karena ada kemungkinan bahwa guru telah mengetahui bahwa hadits tersebut mengandung cacat. Adapun ungkapan hadits yang diterima dengan metode Il’amu Al – Syaikh yaitu :
قال فلان أعلمنى   seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya,
حدثنا            ... telah berkata kepadaku....


7.      Al-Wasiyah (wasiat)
Al-Wasiyah adalah pesan seseorang di kala hendak meninggal dunia atau bepergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. Dalam metode ini ada yang memperbolehkan mengamalkan hadits yang diriwayatkan dengan metode ini dan ada juga yang tidak memperkenankan dengan metode ini. Adapun ungkapan yang digunakan untuk metode al – wasiyah yaitu :
            آره إلى حدثنا فيها قال بكتاب فلان الى آوصى seseorang tem-lah berwasiat padaku dengan sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab “telah bercerita padamu si Fulan...”.

8.      Al-Wijadah ( Penentuan )
Al-Wijadah adalah memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya, baik dengan metote sama’, qira’ah, maupun metode lainnya. Dapat dikatakan proses penerimaan dan penyampaian hadits cukup rumit, sehingga untul menilai sebuah hadits diperlukan ilmu yang cukup dan sikap bijak. ungkapan yang digunakan pada metode ini yaitu :
            فلان بخط قرأت  saya telah membaca tulisan seseorang.
          فلانبخط   kudapati tulisan seseorang.[8]

III. PENUTUP
Tahammul al – hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan tahammul al – hadits menurut istilah ulama’ ahli hadits, sebagaim ahli ilmu cenderung memperbolehkan ana tertulis dalam kitab Taisir Musthalah Al – Hadits adalah : tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syaikh atau guru. Mayoritas ahli ilmu cenderung memperbolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil, yakni anak yang belum mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka tidak memperbolehkannya. Syarat Mutahammil yaitu :
·     Tamyiz



Sedangkan syarat – syarat Mu’addi yaitu :
1.      Islam
2.      Baligh
3.      Adil
4.      Dlabith
Komponen penting dalam hadits :
1.    Mu’addi
2.    Al – Ada’
3.    Matan
4.    Shighah Ar – Riwayah
5.    Mutahammil
6.    Tahammul
Metode – metode yang digunakan dalam Tahammul Al – Hadits :
1.    Al – Sima’            ( السماع  )
2.    Al – ‘Ardl            ( العرض )
3.    Al – Ijazah           ( الإجازة )
4.    Al – Munawalah  ( المناولة )
5.    Al – Mukatabah   ( المكاتبة )
6.    Al – I’lam             ( الإعلام )
7.    Al – Wasiyah       ( الوصية )
8.    Al – Wijadah        ( الوجادة )












Daftar Pustaka

Ash – Shiddieeqy, Hasbi, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : PT. Karya Unipress,1958.
Al – Thahhan, Mahmud, Al – Taisir Musthalah Al – Hadits, Cet. VII; Riyadh : Maktabah Ma’arif, 1985.
Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, Semarang : UINPress, 2015.
Nuruddin, ‘Ulum Al – Hadits, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1985.
‘Ajjaj Al – Khatib, Muhammad, Ushul Al – Hadits ‘Ulimuh Musthalahuh, Beirut : Dar Al – Fikr, 1981.
Kitab Syaikh Manna al-Qaththan berjudul “Mabahats fi Ulumul Hadits”.





[1] Mahmud Thohan, Terjemah Mushtholah Hadits, (Songgopuro: Haramain,1985), hlm. 156.
[2] Dr. T. M. Hasbi Ash – Shiddieeqy, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits,(Jakarta : PT. Karya Unipress,1958), hal. 38 – 40.
[3] Mahmud Al – Thahhan, Al – Taisir Musthalah Al – Hadits, (Cet. VII; Riyadh : Maktabah Ma’arif, 1985), hal. 31.
[4] Dr. Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, (Semarang : UINPress, 2015), hal.81-83.
[5] Kitab Syaikh Manna al-Qaththan berjudul “Mabahats fi Ulumul Hadits”, hal. 165 – 168.
[6] Dr. Nuruddin, ‘Ulum Al – Hadits, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1985), hal. 209-211.
[7] Dr. Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, (Semarang : UINPress, 2015), hal. 41-42.
[8] Dr. Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, (Semarang : UINPress, 2015), hal. 44-45.

No comments:

Post a Comment